IslamToday ID — Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi polemik publik dalam beberapa waktu belakangan.
Polemik POP Kemdikbud mencuat setelah Yayasan Sampoerna dan Tanoto yang notabene merupakan korporasi besar termasuk dalam peserta dana hibah. Bahkan, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta Lembaga Pendidikan Maarif Nahdatul Ulama (NU), dan Organisasi PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) memutuskan keluar dan mundur dari program dengan total hibah mencapai 595 Miliar itu.
Komisi X Singgung Transparansi
Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih mempertanyakan transparansi Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ia melihat ketidakadilan perihal pemberian dana.
Secara khusus, setelah adanya pemberian dana kategori Gajah sebesar Rp 20 miliar. Akan tetapi hal tersebut dikritik, karena diberikan kepada organisasi yang disebut corporate social responsbility (CSR), yaitu Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation.
“Kemarin marak guru yang protes karena tunjangannya disetop. Sekarang anggaran Gajah malah dikasih buat melatih guru, tapi melalui perusahaan besar, ini ironi,” jelasnya, Ahad (26/7), dilansir Republika.
Hal ini disebutnya dapat menimbulkan masalah yang lebih besar, khususnya di kalangan tenaga pengajar atau guru. Sebab, anggaran pelatihan disalurkan ke perusahaan besar terlebih dahulu.
“Mereka melaksanakan kewajiban undang-undang, yakni menyisihkan pendapatan untuk tanggung jawab sosial, artinya memberi, bukan malah diberi, jangan jadi akal-akalan,” ujar Fikri.
Fikri meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim segera mengevaluasi POP. Apalagi, setelah perginya Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai organisasi penggerak.
“Dua ormas terbesar di negeri ini sudah mundur dari penerima program. Kalau diteruskan saya tidak jamin akan terus jadi bola salju yang membesar ke isu lain,” tukasnya.
Soal Etika dan Transparansi
Muhammadiyah memilih mundur setelah Kemendikbud mengumumkan setidaknya ada 156 pendidikan organisasi masyarakat (ormas). Diantara ratusan elemen itu, terdapat dua organisasi besar milik perusahaan Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto.
“Termasuk ada organisasi besar yang konon CSR suatu perusahaan, ada juga lembaga mungkin ada kedekatan dengan pejabat di dalam. Nah ini kita pertanyakan, apakah proses verifikasi dan seleksi ini transparan, bisa dipercaya,” pungkas Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah, Kasiyarno pada Rabu (22/7/2020).
Muhammadiyah pun mengeluarkan tiga pertimbangan yang menyebabkan pihaknya enggan mengikuti program POP Kemendikbud. Awalnya Muhammadiyah memandang program Kemendikbud sebagai sesuatu yang positif, dan pihaknya serius mengikuti program ini namun ditengah jalan pihaknya memutuskan untuk mundur.
Pertimbangan pertama yang menyebabkan Muhammadiyah mundur ialah ketidaketisan dengan menyandingkan organisasi Muhammadiyah dengan organisasi yang baru-baru saja muncul di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam surat Dirjen GTK pada 17 Juli 2020 Nomor 2314/B.B2/GT/2020.
Kedua, kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas, sebab tidak membedakan antara Ormas dan CSR.
Kemudian, dalam pertimbangan ketiga Muhammadiyah tetap akan berkomitmen memajukan pendidikan meskipun tanpa keikutsertaan POP Kemendikbud.
Sementara itu, pada hari yang sama Lembaga Pendidikan Maarif NU juga menyatakan mundur dari keikutsertaan POP Kemendikbud. Bahkan, menurut Ketua Lembaga Pendidikan Maarif NU Arifin Junaidi pihaknya sudah merasakan ada kejanggalan program jauh sejak bulan Maret lalu. Ketika NU dipaksa untuk membuat proposal keikutsertaan POP Kemendikbud.
“Kami nyatakan tidak bisa bikin proposal dengan berbagai macam syarat dalam waktu singkat, tetapi kami diminta ajukan saja syarat-sayarat menyusul. Tanggal 5 Maret lewat website mereka, dinyatakan proposal kami ditolak,” tukas Junaidi (22/7/2020).
Namun keanehan mulai muncul sebab meskipun proposal dari pihak NU dinyatakan ditolak Kemendikbud tetap meminta Lembaga Pendidikan Ma’arif NU untuk melengkapi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Kemendikbud. Salah satunya ketika pihaknya diminta menggunakan badan hukum sendiri, dan bukan badan hukum NU.
“Kami menolak dan kami jelaskan badan hukum kami NU,” imbuh Junaidi.
Junaidi juga mengatakan bahwa desakan dari Kemendikbud tidak berhenti disitu. Kemendikbud bahkan meminta agar diberikan surat kuasa dari pihak PBNU. Meskipun surat itu tidak sesuai dengan AD/ART, dan mereka pun memasukkannya ketika menjelang penutupan.
“Kami terus didesak, akhirnya kami minta surat kuasa dan memasukkannya di detik-detik terakhir,” tutur Junaidi.
Junaidi lantas menambahkan bahwa puncak kejanggalan terjadi pada Rabu pagi (22/7) ketika pihaknya diminta ikut menghadiri rapat koordinasi oleh Kemendikbud. Padahal, surat dari Kemendikbud belum juga diterima oleh pihak Lembaga Pendidikan Ma’arif NU.
“Tadi pagi kami dihubungi untuk ikut rakor, saya tanya rakor apa dijawab rakor POP, saya jawab belum dapat SK penetapan penerima POP dan undangan, dari sumber lain kami dapat daftar penerima POP, ternyata banyak sekali organisasi/yayasan yang tidak jelas ditetapkan sebagai penerima POP,” paparnya.
Perlu diketahui, POP merupakan salah satu program unggulan Kemendikbud. Program itu bertujuan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik.
Dalam program ini, Kemendikbud akan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat yang mempunyai kapasitas meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan. Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp 595 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih.
Organisasi yang terpilih dibagi kategori III yakni Gajah, Macan dan Kijang. Untuk Gajah dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp 20 miliar/tahun, Macan Rp 5 miliar per tahun, dan Kijang Rp 1 miliar per tahun.
Legitimasi POP Kemendikbud Dipersoalkan
Sementara itu Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mencurigai penyebab mundurnya dua ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU. Menurutnya, ada yang tidak beres dengan proses rekruitmen ormas, lembaga dalam POP Kemendikbud tersebut.
Huda menyebut hasil seleksi POP banyak mendapatkan respons negatif dari publik.
Bahkan, menurut Huda dengan mundurnya dua ormas tersebut mau tidak mau akan mempengaruhi legitimasi POP Kemendikbud.
LP Ma’arif PBNU dan Majelis Pendidikan PP Muhammadiyah merupakan dua entitas dengan rekam jejak panjang di dunia pendidikan Indonesia.
“Pengunduran diri NU dan Muhammadiyah dari program ini menunjukkan jika ada ketidakberesan dalam proses rekruitmen POP,” ujarnya.
“Bayangkan saja lembaga pendidikan NU dan Muhammadiyah itu mempunyai jaringan sekolah yang jelas, tenaga pendidik yang banyak, hingga jutaan peserta didik. Jika sampai mereka mundur lalu POP mau menyasar siapa,” tutur Syaiful (22/7)2020).
Oleh karena itu ia pun mendesak Kemdikbud lebih transparan dan membuka ke publik kriteria seperti apa yang mendasari keputusan tersebut.
“Kami mendesak Kemendikbud membuka kriteria-kriteria yang mendasari lolosnya entitas pendidikan sehingga bisa masuk POP. Dengan demikian publik akan tahu alasan mengapa satu entitas pendidikan lolos dan entitas lain tidak,” ujarnya pada wartawan, Rabu (21/7).
Lebih lanjut, Huda mengatakan Kemendikbud tidak bisa memandang remeh fenomena pengunduran diri LP Ma’rif NU dan Majelis Pendidikan Muhammadiyah dari POP. Menurutnya dengan rekam jejak panjang di bidang pendidikan, pengunduran diri NU dan Muhammadiyah bisa mempengaruhi legitimasi dari POP itu sendiri.
Huda pun menegaskan bahwa Kemendikbud tidak bisa beralasan jika proses seleksi diserahkan kepada pihak ketiga sehingga mereka tidak bisa ikut campur. Menurutnya Kemendikbud tetap harus melakukan kontrol terhadap mekanisme seleksi, termasuk proses verifikasi di lapangan.
“Pendidikan merupakan salah satu pilar kehidupan bangsa. Keberadaannya telah eksis sejak sebelum kemerdekaan. Tentu kita akan dengan mudah bisa membedakan mana entitas pendidikan yang telah berpengalaman mana entitas pendidikan baru yang baru eksis dalam empat lima tahun terakhir,” tandasnya.
Anggota DPR RI Fraksi PKB ini menuturjkan bahwa dalam seleksi POP harus mempunyai keberpihakan kepada ormas-ormas dengan rekam jejak panjang di dunia pendidikan di Indonesia.
Hal itu bisa dilihat dari jaringan sekolah yang mereka miliki, jumlah pendidik yang terafiliasi, hingga komitmen terhadap NKRI dan Pancasila.
“Kalau dalam pandangan kami tidak bisa POP ini kita serahkan ke pasar bebas dalam proses seleksinya. Perlu ada pertimbangan-pertimbangan khusus karena sekali lagi ini POP ini juga merupakan bagian dari upaya untuk memberdayakan masyarakat,” pungkasnya.[IZ]