IslamToday ID – Kementerian Pertahanan (Kemenhan) di bawah kepemimpinan Perabowo Subianto di sentil banyak pihak. Pemicunya, Kemenhan berencana memperkuat lini pertahanan Indonesia dengan membeli jet tempur bekas.
Rencana pembelian alutsista bekas ini dinilai akan memicu persoalan baru. Jika rencana tersebut tetap bergulir, Menhan Prabowo dinilai melakukan pelanggaran terhadap undang-undang.
Menuver Prabowo
Dilansir dari kompas.tv, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto terus bergerak agresif melakukan belanja dan modernisasi alutsista. Prabowo memborong miliaran butir peluru dan ratusan kendaraan taktis ke industri pertahanan dalam negeri, PT Pindad.
Anggaran Kementerian Pertahanan, termasuk untuk pembelanjaan alutsista, terus mengalami kenaikan. Di tahun 2019, anggaran Kemenhan dialokasikan sebesar Rp 106 triliun. Sedangkan di tahun 2020 ini anggarannya melonjak tajam menjadi Rp 127 triliun.
Namun belakangan Kemenhan menjadi sasaran tempak lantaran hendak memperkuat pertahanan udara Indonesia dengan alutsista bekas. Kemenhan berencana membeli 15 pesawat tempur Eurofighter Typhoon bekas milik Angkatan Udara Austria. Rencana pembelian 15 pesawat tempur Eurofighter Typhoon bekas milik AU Austria menjadi pemberitaan media Austria, Kronen Zeitung, Sabtu (18/7/2020).
Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan (Kemhan) Brigjen Djoko Purwanto mengatakan, setiap pembelian Alutsista melalui kajian dani proses yang panjang. Meskipun barang bekas, hal itu merupakan upaya untuk memperkuat TNI.
“Intinya kan Kemenhan, menteri (Prabowo) ingin TNI kuat. Itu saja poinnya. Itu yang harus dibangun,” ujar Djoko di Gedung Kemhan, Jakarta, Kamis lalu (23/7/2020).
Diam-diam
Rencana pembelian ini terungkap setelah beredarnya surat surat bernomor 60/M/VII/2020, tertanggal 10 Juli 2020 dengan keterangan Proposal About Eurofughter Typhoon Aircraft’. Rencana ini langsung mendapat respon negative dari banyak pihak. Rencana tersebut dinilai tidak efisien dan menguras anggaran lebih besar.
Anggota Komisi 1 DPR dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin mengungkapkan, rencana pembelian pesawat tempur bekas tentara AU Austria tersebut ternyata tidak ada dalam rencana anggaran APBN 2020 dan 2021. Bahkan, rencana tersebut tanpa melibatkan DPR dan juga PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Padahal, PTDI selaku mitra Kemenhan dalam pengadaan dari alat utama sistem persenjataan (alutsista).
“Berdasarkan rancangan strategis pembangunan pertahanan dan keamanan barang apapun yang namanya alutsista maka harus diusulkan oleh user dalam hal ini TNI. Sampai hari ini tidak pernah usulkan beli alutsita itu,” ungkap Hasanuddin.
Hasanuddin menilai 15 pesawat bekas yang hendak dibeli itu hanya berusia pendek, yakni 13 tahun. Selain itu, perawatan 15 pesawat bekas tersebut tergolong mahal. Diperkirakan mencapai Rp 6,5 triliun per tahun.
“Kebutuhan angkatan bersenjata Austria untuk bisa maintenance ini mereka hitung kurang lebih memerlukan biaya sekitar 5 miliar Euro atau kurang lebih Rp85 triliun untuk masa pemakaian selama 13 tahun. Atau kira-kira Rp6,5 triliun per tahun,” tuturnya
Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan, menilai Menhan Prabowo Subianto berpotensi melanggar Undang-undang No. 16/2012 tentang Industri Pertahanan. Pasalnya, UU tersebut mengatur setiap pembelian alutsista dari luar negeri untuk menyertakan imbal dagang, kandungan lokal, dan/atau ofset.
“Berdasarkan undang-undang, kita memang tidak bisa membeli pesawat atau alutsista bekas karena itu kesepakatan eksekutif dan legislatif,” tutur Farhan dikutip dari cnnindonesia.com (23/7/2020).
Lebih lanjut Farhan menjelaskan jika dalam UU No.16/2012 tersebut terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk setiap pembelian alutsista. Pasal 43 ayat (5) UU Industri Pertahanan menyebutkan tujuh syarat pembelian alutsista dari luar negeri.
“Banyak yang perlu kita pertimbangkan dengan sebaik-baiknya apabila kita mau membeli Eurofighter ini apalagi bekas, terlalu kontroversial dengan nilai yang besar,” jelas Farhan.
Untuk itu Farhan menyarankan agar Kemenhan lebih memprioritaskan untuk melunasi proyek kerja sama pesawat tempur KFX/IFX dengan Korea Selatan daripada membeli 15 pesawat jet tempur bekas milik Austria. Dimana proyek tersebut sudah berlangsung sejak tahun 2009. Proyek kerjasama yang berbiaya Rp 121,35 triliun ini baru dilunasi Indonesia sebesar Rp 3,79 triliun.
“Walaupun pahit bahwa kita mesti bayar hampir US$2 miliar, tapi kita dapat teknologinya, kesempatan mengembangkan orang-orangnya. Jangan sampai putus (kontrak). Ini sebuah keputusan sulit yang benefitnya kita bisa rasakan 5-10 tahun ke depan dan bisa menjadi dasar bagi kita memetakan road map menuju minimum essential force (kekuatan pokok minimum alutsista),” ucap Farhan.
Mengulang Kisruh
Direktur Imparsial, Al Araf mengatakan rencana pembelian pesawat tempur bekas oleh Prabowo berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Ia menilai rencana pembelian alutsista bekas hanya akan mengulang kesalahan pemerintah di masa lalu. Pengadaan alutsista bekas tersebut juga berpotensi menyebabkan terjadinya masalah dalam akuntabilitas anggaran pertahanan TNI.
“Pemerintah hendaknya belajar dari pengalaman saat melakukan pembelian alutsista bekas di masa lalu baik itu pesawat, kapal, tank dan lainnya yang memiliki sejumlah problem teknis dan mengalami beberapa kali kecelakaan,” ungkap Al Araf (22/7/2020).
Al Araf juga menjelaskan perihal potensi timbulnya penyimpangan akibat tidak ada standar harga yang pasti. Bahkan dalam survei yang dilakukan oleh lembaga Transparency International dengan tema ‘Government Defence Anti-Corruption Index 2015’ menunjukkan tingginya risiko korupsi di sektor militer/pertahanan di Indonesia.
Adapun indeks nilai korupsi lembaga pertahanan Indonesia ialah D, setara dengan negara-negara lain seperti Namibia, Kenya, dan Bangladesh. Belum lagi pembelian pesawat jenis Typhoon di Austria juga kerap diwarnai oleh tindak korupsi.
Dikutip dari tempo.co (25/7) polemik pembelian pesawat bekas juga pernah terjadi di tahun 1979. Saat itu pemerintah berencana membeli 16 pesawat bekas milik AS yang diketahui juga merupakan pesawat bekas Israel. Saat itu dengan iming-iming harga murah dan masa pakainya yang tinggal enam tahun tentu sangat merugikan Indonesia. Belum lagi suku cadang pesawat sudah tidak lagi diproduksi.
Tidak hanya menimbulkan polemik di dalam negeri pembelian pesawat ini juga menimbulkan polemik di luar negeri. Khususnya hubungan Indonesia dengan bangsa-bangsa Arab. Akibatnya hubungan Indonesia dengan bangsa Arab menjadi renggang sebab Indonesia dinilai menampung pesawat produksi Israel.
“Jelas itu akan melukai diplomasi kita di Timur Tengah,” kata Ketua Komisi I DPR, Chalid Mawardi.
Kekhawatiran yang disampaikan oleh Chalid terbukti dengan hilangnya dukungan terhadap Indonesia dalam masalah Timor-Timur di Komite IV PBB pada 2 November 1979. Iran misalnya yang semula menentang menjadi mendukung. Dan Arab Saudi memilih abstain.
Tidak hanya itu akibat ketegangan hubungan diplomasi antara Indonesia saat itu juga dinilai hanya akan berdampak buruk dan menyulitkan beberapa pihak. Misalnya ribuan tenaga kerja Indonesia (TKI). Bahkan para kontraktor dan juga para pengusaha Indonesia yang sedang memperluas jangkauan pasarnya di Arab Saudi.
“Saya anggap ini suatu kebodohan. Pembelanjaan senjata kok hanya didasarkan pragmatisme,” pungkas Chalid.
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto