IslamToday ID –Sudah jatuh tertipa tangga. Begitulah nasib Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan. Setelah dikecewakan dengan vonis pengadilan atas kasus penyiraman air keras terhadap dirinya, kini didesak untuk mengembalikan biaya pengobatan matanya.
Desakan itu disuarakan Ketua DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Fuadul Aufa. Desakan itu dilontarkan Aufa lantaran menilai kasus penyiraman air keras yang dialami Novel murni kasus pribadi, bukan berkaitan dengan profesinya sebagai penyidik KPK.
“Penyiraman itu adalah kasus pribadi, telah terbukti dalam persidangan. Jadi biaya pengobatan yang dipakai 3.5 M itu harus dikembalikan. Sejatinya Pak Novel akan dibiayai oleh negara jikalau kasus yang menimpanya terkait erat dengan jabatan dirinya di KPK,” tutur Aufa (28/7/2020).
Dari pengamatannya sepanjang persidangan, motif terdakwa penyiraman ialah sebagai ekspresi kekesalan pelaku terhadap Novel. Kekesalan tersebut terjadi ketika Novel masih bekerja di Kasat Reskrim di Polres Bengkulu pada tahun 2004 silam.
“Setahu saya penyiraman adalah bagian dari luapan kekesalan pelaku justru terhadap apa yang pernah Novel lakukan di Bengkulu 2004, penembakan terhadap pelaku pencurian sarang burung walet dengan satu korban jiwa dan empat orang luka tembak yang hingga saat ini sidangnya belum dilanjutkan,” jelas Aufa.
Desakan untuk mengambalikan biaya pengobatan ini bukan pertama kali dialami Novel. Sebelumnya pada awal Juli lalu, Dewan Pakar Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Teddy Gusnaidi juga menyampaikan hal serupa. Namun, Novel tak tidak banyak berkomentar. Ia meminta Teddy untuk bertanya langsung pada Presiden Jokowi.
“Tanya ke presiden,” ucap Novel singkat (2/7/2020).
Novel menilai, desakan Teddy terlalu berlebihan. Sebab biaya pengobatannya selama menjalani operasi di Singapura bukan pemberian Teedy. Novel juga enggan untuk menanggapi pernyataan Teddy yang memintanya mengembalikan uang senilai Rp 3,5 miliar kepada negara.
“Uangnya bukan dari dia,” ucap Novel.
Hukum Dipermainkan
Kasus penyiraman air keras yang nyaris membuat kedua matanya buta permanen. kedua matanya. Beruntung dengen pengobatan yang dilakukan sebelah matanya, masih bisa melihat meskipun tidak sempurna.
Alih-alih mendapat keadilan atas apa yang dialaminya. Novel novel melihat sejak awal, penangkapan terdakwa hanya sekedar formalitas. Proses penuntutan terdakwa juga jauh dari fakta dan keadilan.
“Hingga kemudian proses penuntutan dakwaan kok jauh sekali dari fakta. Ini kan aneh, saya seorang penyidik yang paham bagaimana mengonstruksikan suatu kasus. Tapi ini jauh dari objektif,” ungkap Novel
Novel akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahw kasusnya hukum yang dihadapinya telah dipermainkan. Ada pihak yang telah menyusun sekenario secara terstruktur dan sistematis. Namun menurutnya, ketidakadilan yang dipertontonkan itu justru mencorong wajah penegak hukum sendiri.
“Mereka seperti olok-olok diri sendiri, bukan hanya hina saya dan aktivis, tapi olok-olok diri sendiri. Kekonyolannya dibicarakan gitu, lho, bukan hanya jadi rahasia, tapi orang banyak tahu. sketerlaluannya itu luar biasa,” ujar Novel.
Kejanggalan pada proses hukum hingga ringannya vonis bagi terdakwa dalam kasus novel baswedan, dinilai bakal mebawa dampak seirus. Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan menilai proses hukum atas kasus novel sebagai bentuk kejahatan terhadap sistem peradilan pidana. Menurutnya, hal ini akan mengancam kepercayaan ,asyrakat terjadap pemerintah dan pengadilan.
“Dampaknya bisa mengancam upaya-upaya pemberantasan korupsi. Dampaknya bisa mengancam kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan itu menakutkan. Dampaknya bisa mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana. Itu juga menakutkan karena bisa mendorong vigilante, tindakan main hakim sendiri,” terang Agustinus.
Lebih lanjut Agustinus menerangkan bahwa fakta hukum yang muncul dalam persidangan Novel bukan sebuah kebenaran materil. Sebabm ada pengabaian terhadap rekomendasi-rekomendasi hasil Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Tim Pencari Fakta Novel Baswedan. Bahkan fakta yang dimunculkan dalam persidangan sangat berbeda dengan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Polri.
Penulis: Kukuh Subekti