IslamToday ID — Negara saat ini tersandra oleh kekuatan pemodal. Tidak hanya itu, kepala daerah hasil Pilkada ternyata hanya menjadi kacung-kacung oligarki.
Hal itu diungkapkan, Muhammad Uhaib As’ad, pengamat Politik Universitas Islam Kalimantan (Uniska). Menurutnya, hingga saat ini proses demokrasi di Indonesia pasca reformasi masih tersandera kekuatan uang. Akibatnya, kepala daerah hasil Pilkada selama ini hanya menjadi ‘kacung’ oligarki di tingkat lokal maupun nasional. Bahkan bisa jadi calon-calon kepala daerah pada pilkada 2020 juga menjalankan peran yang sama.
“Sebetulnya kepala daerah yang elected di dalam Pilkada ini, sebetulnya mereka hanya wayang, kacung, yang dikendalikan oleh local oligarchy atau national oligarchy,” kata Uhaib dalam webinar yang digelar oleh Komnas HAM, Rabu (29/8/2020) seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Menurut Uhaib, salah satu indikasi demokrasi tersandra kekuatan uang, ialah mahalnya ongkos politik yang harus dikeluarkan setiap kandidat. Akibatnya subtansi demokrasi tidak mencapai akar rumput. Sebab hanya orang atau lembaga dengan kekuatan modal yang besar yang bisa ikut berkompetisi dalam pilkada atau pemilu.
Kondisi tersebut memberi peluang bagi oligarki mengkooptasi demokrasi. Mereka datang memberikan modal besar bagi kandidat yang ia jagokan di pemilu maupun ajang pilkada. Kandidat yang ditopang dengan kekuatan modal kemudian membeli suara rakyat dengan uang.
Lanjut Uhaib, para pemilik modal memang tidak mencalonkan diri, namun mereka mengatur permainan politik, baik ditingkat nasional hingga ditingkat local. Ia mengibaratkan, para olikarki dalam demokrasi layaknya pemilik club sepak bola.
“Dia ga perlu jadi pemain, tapi dia beli pemain top dunia, dia bayar dan dia rancang jadi kekuatan raksasa,” ungkapnya
Menurut Uhaib, ketergantungan para kandidat oligarki akan berimbas pada produk kebijakan. Menurutnya, hampir bisa dipastikan kepala daerah yang telah duduk dipangkuan oligarki tak akan berpihak kepada rakyat. Sebaliknya, mereka berpihak pada kepentingan oligarki, sebagai bentuk politik balas budi. Misalnya, memberikan konsesi lahan tambang kepada para pengusaha besar. Uhaib mengambil kesimpulan, penguasa-penguasa tambang saat ini mendapat konsesi lahan lantaran menjadi sponsor dalam pilkada maupun pemilu.
“mereka didikte agar kebijakan yang dibuat berpihak pada kepentingan kelompok-kelompok yang jadi bandar dalam Pillkada,” kata dia.
Menurutnya, kondisi seperti ini sangat berbahaya. Sebab secara perlahan akan mengikis daya tawar pemerintah dan negara di hadapan para oligarki. Pemerintah perlahan-lahan pelayan rakyat menjadi ‘klien’ pengusaha. Sebaliknya, oligarki justru duduk sebagai penguasa, sebab mereka telah mampu mengendalikan pemerintah.
Seperti dilansir pinterpolitik.com, demokrasi di Indonesia akan sulit menemukan bentuk idealnya karena telah bercampur dengan politik oligarki. Pembuatan kebijakan hingga wacana politik kerap kali disesuaikan dengan kepentingan para oligark yang ‘bermain’ di belakang panggung.
“Orang bebas untuk berpartisipasi dalam pemilihan, tetapi pemilik modal yang ada di partai politik juga akan ikut campur. Karena demokrasi berbiaya tinggi, sponsor diperlukan untuk memenuhi biaya politik, dan itu adalah sarang oligarki yang tidak memberikan apa pun secara gratis” ujar Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor
Jeffrey A. Winters, Profesor di Northwestern University, dalam tulisannya, Oligarchy and Democracy in Indonesia, mengatakan, para oligark memiliki banyak cara mengekspresikan kekuasaan mereka dalam demokrasi Indonesia, khususnya setelah kejatuhan Soeharto pada 1998.
Semenjak kejatuhan Soeharto, Indonesia tidak hanya memasuki babak baru berupa Pemilu langsung, namun juga telah memasuki politik berbiaya tinggiMenurut Winters, kekuatan materil yang dimiliki oligark menjadi kekuatan paling serbaguna. Dengan kekuatan materiil oligark dengan mudah mengubahnya menjadi manifestasi bentuk kekuatan atau kekuasaan lainnya. Misalnya seperti menghasilkan produk hukum, mempekerjakan banyak orang, bahkan menyediakan persenjataan militer.
Penulis: Arief Setiyanto