IslamToday ID — Mahkamah Agung (MA) mengancam pelaku korupsi di atas Rp 100 miliar dengan sanksi pidana seumur hidup. Ancaman tersebut tertuang dalam Peraturan MA (Perma) No.1/2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Diterbitkannya Perma ini diharapkan mampu mencegah terjadinya disparitas dalam penetapan hasil vonis putusan perkara korupsi di Indonesia.
“Dengan adanya pedoman pemidanaan ini, hakim tipikor dalam menjatuhkan pidana hendaknya memperhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan untuk mewujudkan keadilan. Dengan terbitnya pedoman pemidanaan ini pula, diharapkan hakim tipikor dapat menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa,” tutur Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, Ahad (2/8/2020).
Perma yang dikabarkan dibahas hingga dua tahun lamanya ini diteken oleh Ketua MA M Syarifuddin pada 8 Juli 2020, serta resmi diundangkan pada 24 Juli 2020. Dalam Perma ini menjadi panduan, pertimbangan para hakim dalam memutuskan perkara korupsi.
Setidaknya ada tujuh pertimbangan yang menjadi acuan hakim dalam memutuskan vonis bagi para koruptor.
Tujuh pertimbangan hakim yang diatur dalam Perma No.1/2020 ialah berdasarkan kerugian keuangan negara, tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan, rentang penjatuhan pidana. Pertimbangan berikutnya ialah keadaan yang memberatkan atau meringankan, penjatuhan pidana, serta ketentuan lain yang berkaitan dengan penjatuhan pidana.
Adapun pedoman pemidanaan yang diatur dalam Perma berkaitan dengan Pasal 2 UU Tipikor membagi kasus dalam beberapa kategori berdasarkan jumlah uang yang dikorupsi terdapat empat kategori.
Pertama, paling berat korupsi lebih dari Rp100 miliar,
kedua berat korupsi lebih dari Rp25 miliar-100 miliar.
Ketiga masuk kategori sedang lebih dari Rp1 miliar-Rp25 miliar,
keempat kategori ringan yaitu Rp200 juta-Rp1miliar.
Sementara berdasarkan kerugian yang ditimbulkan bagi negara sebagaimana dikaitkan dengan pasal 3 UU Tipikor, dalam Perma dikategorikan dalam lima kategori.
Kelima kategori tersebut pertama ialah paling berat lebih dari Rp100 miliar,
kedua, berat yaitu lebih dari Rp25 miliar-Rp100 miliar,
ketiga, sedang lebih dari Rp1 miliar-Rp25 miliar,
kategori ringan untuk Rp200 juta-Rp1miliar.
Terakhir, kelima kategori paling ringan yakni kerugian negara hingga Rp200 juta.
Sementara untuk vonis yang dijatuhkan oleh hakim berdasarkan Perma No.1/2020, ditetapkan dalam beberapa kategori. Dimana vonis tersebut diberikan dengan pertimbangan berdasarkan tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan yang tinggi (bagi pelaku).
Kategori pertama, paling berat dengan kesalahan, dampak dan keuntungan sedang hukumannya adalah 13-16 tahun dan denda Rp650-Rp800 juta.
Berikutnya yakni kategori kedua, paling berat dengan kesalahan, dampak dan keuntungan ringan hukumannya adalah 10-13 tahun dan denda Rp500-Rp650 juta.
Dan yang ketiga ialah kategori paling ringan dengan kesalahan, dampak dan keuntungan ringan hukumannya adalah penjara 1-2 tahun dan denda Rp50-Rp100 juta.
Hadirnya Perma No.1/2020 disambut baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku pihak yang terlibat dalam Kelompok Kerja (Pokja) Perma yang diatur dalam Keputusan Ketua MA Nomor: 189/KMA/SK/IX/2018. Meskipun hanya beberapa pasal saja yang diatur oleh Perma No.1/2020 tersebut. Namun KPK memiliki rasa optimis jika keberadaan Perma tersebut dapat mencegah terjadinya disparitas hukum yang selama ini ada dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
“KPK tentu menyambut baik Perma yang dimaksud sekalipun tidak untuk semua pasal tipikor seperti pasal suap menyuap, pemerasan dan lain-lain serta tindak pidana korupsi lainnya,” ungkap Plt. Juru Bicara KPK, Ali Fikri (2/8/2020).
Perlu ditinjau Ulang
Sementara itu Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril mengomentari bahwa terbitnya Perma No.1/2020 menyayangkan terkait terbitnya pedoman pemidanaan bagi para hakim tersebut. Menurutnya, keberadaan Perma tersebut hanya menitik beratkan pada kerugian negara bukan dampak korupsi.
“Menurut saya bagus ya Perma ini supaya tidak terjadi disparitas hukuman antar-pengadilan dalam mengadili terdakwa korupsi,” ungkap Oce (2/8/2020).
Oce pun memberikan sejumlah catatan jika kemudian MA berkeinginan untuk melakukan pengkajian ulang terhadap keberadaan Perma tersebut.
Catatan pertama ialah MA hanya menitikberatkan pada aspek penanganan terdakwa korupsi terhadap nilai kerugian negara. Hal ini dianggapnya kurang tepat jika dijadikan sebagai landasan bagi hakim untuk memberikan vonis bagi terdakwa korupsi. Alangkah lebih baik jika MA mendorong para hakim untuk menentukan vonis berdasarkan atas dampak dari korupsi tersebut.
“Dalam satu perkara korupsi boleh jadi nilai kerugian negaranya kecil namun dampaknya besar. Ini bisa menjadi misleading karena korupsi itu berdimensi terhadap kepentingan publik, bukan hanya jumlah uang yang dirampok terdakwa,” jelas Oce.
Catatan kedua ialah berkaitan dengan kategorisasi korupsi. Dimana kategori korupsi paling berat ialah jika nilai korupsinya telah mencapai Rp 100 miliar. Batasan angka tersebut dinilianya terlalu tinggi dan menciptakan gap yang cukup tinggi sehingga perlu untuk ditinjau ulang.
“Angka itu terlalu tinggi mestinya Rp50 miliar ke atas sudah paling berat. Kalau Rp100 miliar ke atas gap atau limitnya terlalu tinggi sehingga perlu ditinjau ulang,” imbuh Oce.
Hal lain yang menjadi catatan ialah perihal ancaman minimal bagi pelaku korupsi yang tidak boleh melebihi batas yan diatur dalam UU Tipikor.
Seperti standar ancaman pasal 2 itu minimal 4 tahun penjara dan pasal 3 itu 1 tahun. Sementara di Perma, terdapat ancaman bisa di bawah 3 setengah tahun hal ini tidak bisa dipukul rata. Untuk itu ia meminta agar MA melakukan kajian tentang dampak kerugian terhadap negara serta minimal ancaman yang ditetapkan.
“Jangan sampai perma itu mereduksi UU Tipikor. Kalau mereduksi tentu keliru. Tetapi semangatnya Perma ini sudah bagus yakni memberikan panduan supaya tidak terjadi disparitas antar pengadilan,” jelasnya.
Penulis Kukuh Subekti