IslamToday ID –-Fenomena membengkaknya tagihan listrik mewarnai pandemic covid-19. Tidak jarang buruh pencatat listrik dikambing hitamkan atas kesalahan PLN. Bahkan ada pula yang sampai dipecat dari pekerjaanya.
Hal ini misalnya terjadi di Makasar. Sebelumnya netizen digegerakan lonjakan tagihan listrik hingga 19 juta yang diposting akun twitter @ummudaardaa pada 5 Agustus 2020 lalu. Ia mengunggah bukti pembayaran tagihan listrik 900 VA atas nama Tumiran yang nilai tagihannya mencapai Rp19.675.707,00.
Setelah dikonfirmasi ke pihak PLN ULP Panakkukang mengatakan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam pencatatan yang dilakukan oleh petugas pencatat meteran. PLN Akhirnya memecat petugas pencatat meteran yang dituding melakukan kesalahan.
“Petugas baca meter dari perusahaan mitra kerja PLN yang tidak berintegritas sudah dikeluarkan oleh mitra kami beberapa bulan lalu. Setelah penggantian petugas yang baru akhirnya diketahui ada kurang tagih oleh PLN,” tutur Manajer PLN ULP Panakkukang, Dwija Putra Swandika (06/08/2020).
Penyebab Tidak Akurat
Direktur Niaga dan Management PLN, Bob Saril pada awal Juni 2020 lalu mengatakan, bahwa para petugas baca telah diberikan prosedur khusus selama menjalankan tugas. Misalnya dengan menggunakan bukti foto ketika melakukan pengecekan meteran.
“Pencatatan itu sudah dilengkapi alat memadai seperti harus difoto, itu sebagai bukti bahwa mereka (pihak ketiga) datang ke sana dan mereka ada meter berapa angkanya,” terang Bob Saril (6/6/2020).
Tidak akuratnya pencatatan bukan pada persoalan lat yang memadai. Namun lantaran penemuhan hak-hak buruh pencatat meteran PLN tidak dipenuhi. Akibatnya kinerja mereka tidak optimal.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengaku pernah dikunjungi oleh asosiasi pencatat meter Jakarta. Mereka datang mendatanginya saat mencuatnya polemik lonjakan tagihan listik akibat kesalahan pencatatan. Kepada Tulus, mereka mengungkapkan buruknya kinerja mereka yang berdampak pada kesalahan pencatatan meteran listrik.
Lanjut Tulus, para pencatat meteran listrik mengungkapkan ada banyak hak mereka yang selama ini belum dipenuhi oleh pihak PLN sehingga berdampak pada kinerja mereka. Misalnya, PLN kerap lepas tanggung jawab ketika mereka mengalami kecelakaan saat menjalankan tugas.
Kecelakaan dalam tugas tidak dimasukan dalam perlindungan kerja. Disamping itu terkadang ada kendala lapangan yang menyebabkan pencatatan meteran tidak akurat.
“Hak-hak mendasar sangat berpengaruh pada kinerja menginput data,” kata Tulus
Gaji Rendah dan PHK Sepihak
Selain menjadi sasaran kesalahan hinga kehilangan pekerjaan, kondisi para buruh pencatat ternyata sangat memprihatinkan. Mereka digaji rendah, bahkan menjadi korban PHK tanpa pesangon.
Hal ini setidaknya menimpa 199 petugas pencatat meteran PLN Sumatera Utara pada tahun 2017. Mereka melakukan ujukrasa hingga lima kali, untuk menuntut pesangon yang tak kunjung dilunasi oleh PLN. Kasus ini berujung dengan penggembokan kantor PLN Sumut, sebab saat itu tak ada satu pun pihak PLN yang bersedia menemui mereka.
Sebelumnya Di tahun 2016 juga terungkap beban kerja yang berat dan upah rendah para pencatat meteran PLN di Kota Medan. Setiap petugas dibebani tugas mencatat 5.600 hingga 5.700 meteran pelanggan dalam sebulan masa kerja. Padahal sebelumnya mereka hanya diberi beban 1.600 sampai 1800 meteran.
“Ini tidak masuk akal, selama ini kami bekerja 10 hari. Dan dalam sehari kami biasanya mencatat 160 sampai 180 pelanggan. Perhitungannya 1 meteran itu sekitar 3 menit, berarti sekita 8 jam per harinya kami bekerja,” jelas Ketua DPD Serikat Pekerja Pembaca Meter Listrik Sumatera Utara SP2MLSU Baginda Siregar, dikutip dari medanbisnisdaily.com (7/6/2016).
PHK sepihak juga pernah menimpa 89 petugas meter PLN di Kediri tahun 2012. Pemecatan mereka diduga dilakukan karena para pekerja menuntut beberapa hak mereka seperti rendahnya gaji yang mereka terima. Dalam sebulan upah mereka hanya Rp 914ribu, padahal berdasarkan kesepakatan awal ditetapkan jika upah yang mereka terima senilai Rp 1,5juta.
“Kami bukan baru bekerja menjadi petugas seperti ini. Saya bahkan sudah bekerja sejak 1992, namun nasib selalu digantung,” jelas Kosdu Sya’in (17/1/2012).
Penulis: Kukuh Subekti