IslamToday ID –Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melakukan pengkajian terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Komnas HAM mendesak pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU Omnibus law tersebut.
“Kami merekomendasikan kepada Presiden (Joko Widodo), DPR agar tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja ini dalam rangka penghormatan perlindungan dan pemenuhan HAM bagi seluruh (masyarakat) Indonesia,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Kamis, 13 Agustus 2020.
Setidaknya ada 10 catatan merah Komnas HAM terhadap RUU Cipta Kerja. Pertama, Penyusunan RUU Cipta Kerja dinilai tidak sejalan dengan mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya Pasal 5 huruf g. Pasal tersebut, menjamin hak untuk berpartisipasi dan asas keterbukaan yang menjadi elemen fundamental dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kedua, Komnas HAM melihat adanya terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior. Yakni, peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. Sementara yang terjadi, Pasal 170 Ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja menyebut Peraturan Pemerintah (PP) dapat mengubah peraturan setingkat undang-undang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja.
Ketiga, RUU Cipta Kerja membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Berpotensi memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Ketentuan ini tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel. Keempat, Komnas HAM menilai RUU Cipta Kerja terlalu superior, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan tatanan dan ketidakpastian hukum.
“Tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya, sehingga apabila RUU Cipta Kerja disahkan, seakan-akan ada undang-undang superior. Hal ini akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum,” tulis Komnas HAM dalam rilisnya
Kelima, Komnas HAM melihat adanya pemunduran kewajiban negara dalam memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak jika RUU Cipta Kerja disahkan. . Selanjutnya, Komnas HAM menilai terdapat kemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, Akibatnya akan terjadi pelanggaran kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.
Sebagai contoh, RUU tersebut membuka ruang politik hubungan kerja yang tidak sehat. Yakni membuka seluas-luasnya praktik perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak, kemudahan dalam proses atau mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), penurunan standar kelayakan dan kondisi kerja yang adil terkait dengan upah, cuti dan istirahat, serta pemunduran dalam perlindungan hak untuk berserikat dan berorganisasi
Keenam, RUU Cipta Kerja menyebabkan terjadinya pelemahan dalam melindungi lingkungan hidup. Misalnya terkait izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan dan berkurangnya kewajiban melakukan AMDAL bagi kegiatan usaha.
Ketujuh, relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional tanpa memerlukan persetujuan dari institusi yang mengawasi tata ruang dan wilayah. Sehingga membahayakan keserasian dan daya dukung lingkungan hidup.
Sedangkan poin delapan hingga sepuluh berkaitan dengan kepemilikan tanah, pemenuhan hak atas pangan, dan nuansa penghukuman yang dinilai menjamin korporasi atau kelompok. Hal ini di antaranya, terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat minimal 20 persen dari luasan izin HGU.
Selian itu, pembentukan bank tanah yang akan menjadikan lahan sekadar kepentingan komoditas ekonomi dengan luasan pengelolaan tanah, yang tidak dibatasi dan jangka waktu hak yang diberikan selama 90 tahun. Komnas HAM berkesimpulan bahwa politik penghukuman di dalam RUU Cipta Kerja terlalu diskriminatif. Pasalnya, aturan itu lebih menjamin kepentingan kelompok pengusaha.
Komioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga, mengatakan, kajian lengkap terhadap temuan Komnas HAM tersebut akan disampaikan ke Presiden Jokowi dan DPR. Pihaknya mendesak agar pembahasan RUU tersebujt di stop.
“Materi lengkap baru bisa kita keluarkan setelah kita kirim kepada Presiden dan DPR. Rencananya mudah-mudahan besok (Jumat, 14 Agustus 2020) bisa kita kirim,” ujar Sandra. (AS)