IslamToday ID — Negeri ini telah menjalin relasi dengan dunia internasional dengan bangsa lain bahkan jauh sebelum negara Indonesia berdiri. Salah satu contoh jalinan relasi internasional yang dimaksud ialah terjalin pada masa Keraton Kasunanan Surakarta dengan Kesultanan Turki Utsmani. Jejak hubungan bilateral itu terlihat dalam pembuatan gapura Masjid Agung Surakarta.
Arsitektur
“Dulu bentuknya ‘Semar Tinandu besar’ (konsep bangunan Jawa, beratap limasan). Tetapi ketika PB X sudah membangun hubungan bilateral dengan Utsmani yang luar biasa, PB X juga memiliki daya serap yang tinggi dari sisi keilmuan dan budaya maka sing maune (yang tadinya-red) ‘Semar Tinandu’ begitu, asli Jawa itu diganti dengan model arsitektur muslim,” kata Tafsir Anom Masjid Agung Keraton Surakarta, KH. Muhtarom kepada Islamtoday.id, Senin (24/8/2020).
KH. Muhtarom mengungkapkan pengaruh hubungan bilateral salah satunya terlihat nyata di bidang arsitektur khususnya yang terdapat di bangunan gapura masjid Agung Surakarta. Namun demikian ia mengaku belum memiliki data pasti perihal siapa yang mebangunnya apakah dari arsitek lokal atau arsitek dari Ustmani.
Ia meyakini bahwa keberadaan gapura tersebut tidak lepas dari kehendak PB X yang kemudian teknik pembangunannya diserahkan kepada mereka yang dinilai menguasai.
“Yang jelas itukan kehendak sinuhun, atas interaksi beliau (dengan Turki Utsmani). Tentunya yang mampu memberikan (membangun) siapa, tentunya orang-orang yang punya kapasitas, bisa saja orang asing atau orang-orang Solo atau orang lain yang memiliki kapasitas yang mampu menerjemahkan kehendak seorang raja,” terangnya.
Menurutnya, Adanya institusi masjid agung semakin mempererat hubungan Kesultanan Utsmaniyah dengan keraton Surakarta khususnya kaum Muslimin saat itu. Utsmaniyah kerap mengirimkan utusan-utusannya baik untuk menjalin hubungan ekonomi maupun dengan mengirimkan para cendekiawan muslim untuk mensyiarkan Islam.
Pengiriman Delegasi, Ulama, dan Qadhi
KH. Muhtarom juga menyebut tentang kemungkinan terjadinya pengiriman delegasi dari dua raja, penguasa tersebut. Ia menambahkan pengiriman delegasi antar kedua penguasa tersebut dimungkinkan tidak lepas dari kepentingan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sebab menurut penuturannya berdasarkan informasi dari Gusti Puger, Keraton Surakarta menyimpan sebuah cenderamata berupa pedang dari Turki Utsmani.
Terkait bukti korespondensi antar dua penguasa tersebut apakah di Keraton Solo ada atau tidak ia tidak tahu pasti. Akan tetapi, dia menduga bukti korespondensi tersebut bisa saja ada, hanya saja ia belum mengetahui data tersebut. Sebab arsip tersebut merupakan bagian dari wewenang keraton.
“Bahkan kunjungan (delegasi) telah ditulis oleh jurnalis di sana (Utsmani),” tutur KH. Muhtarom sembari menunjukan sebuah foto dokumentasi hitam putih dengan keterangan foto menggunakan tulisan huruf hijaiyah.
Bukti lain yang mengungkap adanya hubungan bilateral antara Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Utsmani ialah keberadaan makam Syekh Ahmad Akhwan. Seorang ulama yang datang dari Hijaz yang kemungkinan memiliki peran penting bagi raja dan keraton Surakarta.
“Menurut keterangan dari berbagai sumber, beliau (ulama) utusan dari Hijaz, Mekah,” jelas KH. Muhtarom.
Pada masa Kasunanan Surakarta berjaya, terdapat banyak ulama-ulama keraton yang dulunya pernah menimba ilmu di Hijaz. Hijaz saat itu merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Turki Utsmani.
Banyaknya ulama di Solo dan Nusantara secara umum diperkirakan selain disebabkan adanya hubungan bilateral (resmi) dari relasi kedua penguasa juga disebabkan adanya keinginan berdakwah berdasarkan kehendak perseorangan.
Peradilan Islam
KH Muchtarom juga menjelaskan kemungkinan pengaruh Utsmani dalam bidang lainnya yang dibawa oleh ulama dari Hijaz ialah penerapan hukum, syariat Islam di Pengadilan Serambi. Hal ini terbukti dengan adanya kitab Khosyiyatul ‘Alamyyah yang menjadi kitab rujukan sumber hukum Keraton Surakarta yang ditulis pada tahun 1334 H atau sekitar tahun 1916 M.
“Pengadilan Serambi menyangkut semua perkara-perkara perdata baik itu perceraian, warisan. Dan salah satu bukti bahwasanya karya-karya ulama Hijaz, menjadi hukum rujukan dalam pengadilan serambi yaitu Khosyiyatul ‘Alamyyah itu Kitab Mawaris yang digunakan oleh PB X yang digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan masalah sengketa waris,” terangnya.
Sejak masa Pakubuwana III, Menurut Kiai Muchtarom, pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah mengirim ulama-ulama dari tanah Hijaz yang menjadi kekuasaannya ke Surakarta. Termasuk para qadi atau hakim.
Melalui utusan-utusan Utsmaniyah itu, Keraton Kasunanan Surakarta perlahan-lahan membangun sistem perundang-undangan Islam. Pada kepemimpinan Sri Susuhunan Pakubuwana IV atau Raden Mas Subadya, keraton Surakarta mulai menetapkan hukum syariat Islam menjadi undang-undang negara.
Hubungan semakin kuat ketika masa kekuasaan Pakubuwana X atau Raden Mas Sayyidin Malikil Kusna (1893-1939). Menurut Muchtarom pada masa ini banyak literatur-literatur Islam yang dibawa utusan-utusan Utsmaniyah ke Surakarta dan diajarkan kepada masyarakat.
Pada masa PB X, penerapan hukum Islam sudah menyeluruh pada berbagai masalah. Muchtarom mengatakan kala itu Masjid Agung Keraton Surakarta mempunyai Pengadilan Serambi, tempat dimana pemutusan semua masalah-masalah sesuai hukum Islam.
“Ketika PB X memimpin justru dia makin memperkuat penerapan hukum Islam itu dengan pengadilan serambi. Termasuk didalamnya memutus persoalan pernikahan, mawaris, dan lainnya. Rujukan–rujukan kitabnya langsung dibawa para utusan termasuk dari Makkah,” terangnya.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza