IslamToday ID — Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kembali meyinggung peroslan agama dalam kehidupan bernegara. Kali ini, BPIP menyebut agama dimanipulasi sebagai alat untuk merebut kekuasaan dengan cara yang tidak sehat.
“Problemnya adalah kita muncul saat ini menghadapi situasi, di mana agama itu menjadi aspirasi kepentingan untuk merebut kekuasaan dengan menggunakan cara-cara yang tidak sehat,” ujar Staf Khusus Ketua Dewan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo Benny Susetyo, dalam Webinar yang diadakan oleh Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) pada, Kamis (10/9).
Menurut Benny, cara ini bukan hal yang baru, karena telah berlangsung sejak berabad-abad lalu. Namun menurutnya, yang jadi persoalan saat ini lantaran sejumlah pihak tidak memiliki pemahaman agama yang kritis, menyeluruh dan kontekstual. Akibatnya, mereka bisa dimanipulasi untuk kepentingan politik.
“Ketika agama tidak dipahami secara kritis dan dalam menafsir tidak dilihat dalam konteksnya, sosial, politik, ekonomi, budaya pada waktu itu, maka manipulasi agama untuk kepentingan politik kekuasaan ini sangat kuat,” tutur Benny.
Oleh karena itu, menurutnya panggunaan agama untuk kepentingan politik perlu diwaspadai. Pasalnya, ia melihat sekarang banyak bermunculan fenomena perebutan kekuasaan dengan melegalkan banyak cara, termasuk isu agama. Bagi beni memanipulasi agama untuk kepentingan politik sangat keliru.
“Menjadi orang radikal dalam menghayati agama tidak salah. Yang menjadi persoalan adalah memanipulasi agama untuk merebut kekuasaan politik dengan kekerasan dan memaksa orang lain,” ujar Benny.
Agama dan Politik Tak Dapat Dipisahkan
Seperti dilansir geotimes edisi 31 Mei 201, Komarudin Hidayat mengatakan bahwa agama menekankan keimanan, ritual peribadatan, dan moralitas. Sedangkan politik menekankan aturan main dalam perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara. Menurut Komaruddin, dalam prakteknya kedua aspek menyatu. Terlebih dalam ajaran dan sejarah Islam, agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai sekarang tak terpisahkan.
Lanjutnyam kondisi tersebut berbeda dari ajaran Kristen yang memisahkan antara hak gereja dan negara. Akibatnya, dalam masyarakat kritesn di Barat terjadi pemisahan jelas antara agama dan negara atau sekulerisme. Agama itu urusan pribadi. Negara tidak boleh intervensi. Sementara itu, Rasulullah Muhammad SAW justru mewariskan bentuk komunitas politik di Madinah.
“Jadi, ingatan kolektif umat Islam dan Kristen mengenai agama dan politik memang berbeda. Peran sosial politik yang dicontohkan oleh Yesus dan Muhammad tidaklah sama. Maka, ketika berbicara tentang hubungan agama dan politik, umat Kristiani akan memilih teori sekularisme,” ujarnya
Menurutnya, pendapat bawa agama jangan dibawa-bawa pada ranah politik, atau agama a cukup sebagai keyakinan hidup dan pedoman moral, baik dalam ranah individu maupun sosial, hal itu tidak berarti agama tidak memiliki pengaruh dalam proses politik.
Komaruddin mencontohkan, di Amerika Serikat, meskipun pemerintahannya selalu membela demokrasi dan hak asasi manusia, faktannya masih tidak terbayangkan seorang Muslim bisa terpilih sebagai presiden Amerika. Jangankan Islam, dari kalangan Katolik pun berat,” ujarnya
“Jadi, kalau di Indonesia isu agama masih muncul, itu wajar-wajar saja. Pertama, penduduk mayoritas warganya adalah Muslim. Kedua, dalam sejarah Islam, hubungan agama dan politik itu senantiasa menyatu, sekalipun hal ini juga menimbulkan problem politik sangat serius yang belum selesai,” tutur Komaruddin
Lanjutnya, perebutan politik dan kekuasaan yang dibumbui dan dicarikan legitimasinya dari agama memang terjadi. Contoh paling kasat mata adalah perseteruan antara sekutu Saudi Arabia dan sekutu Iran yang memiliki andil besar bagi munculnya konflik di Timur Tengah. Keduanya mengaku sama-sama pembela Islam, namun berbeda agenda politiknya. Lebih parah lagi konflik Israel dan Palestina yang berbeda agama dan berbeda agenda politiknya.
Menuru Komaruddin, dalam dunia politik sesungguhnya tak ada yang terbebaskan dari pengaruh agama. Hanya saja formula peran dan keterlibatan agama dalam politik yang berbeda.
Pengaruh kekristenannya diekspresikan dalam penguatan etika publik dan pada pribadi-pribadi pejabat publik, bukan pada sistem maupun undang-undang kenegaraan. Maka, tidak dikenal istilah “Negara Kristen”.
Sementara itu, dalam masyarakat Islam, masih ada obsesi untuk mendirikan “negara Islam” dan kekhalifahan. Ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits dijadikan rujukan untuk mendukung agenda tersebut. Menurut Komaruddin dapat diartikan, masyrakat islam menghendaki, agama harus masuk pada ruang dan sistem politik dan kenegaraan.
“Karena masih kuatnya pengaruh simbol-simbol keagamaan terhadap politik, maka di dunia Islam, termasuk Indonesia, peran para ulama sangat signifikan dalam setiap pemilu,” ungkapnya
Kuatnya pengaruh agama juga tampak dari langkah partai politik yang merasa perlu menempelkan identitas keagamaan pada Anggaran Dasar atau logo partai politiknya. Misalnya seperti gambar Ka’bah pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun Problem lainnya muncul ketika kader dari partai politik keagamaan itu gagal ketika mengemban jabatan publik.
Dalam kondisi seperti itu, menurut Komaruddin berpandapat, sentimen agama sangat efektif untuk membangun solidaritas massa sesaat yang bersifat reaktif, bahkan radikal. Namun, hal inis erring kali gagal karena keidak cakapan para tokoh agama mengambil peran eksekutif melakukan pembangunan untuk memberikan pelayanan publik yang diharapkan konstituen.
“Pendek kata, ambisi besar, kompetensi kecil. Celakanya, citra dan martabat agama lalu jadi ternoda karena hanya dijadikan alat atau batu loncatan untuk meraih kekuasaan semata,” pungkasnya
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto