ISLAMTODAY ID –Keputusan Presiden Jokowi melakukan harmonisasi undang-undang lintas sektoral dalam satu Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law/ Cipta Kerja menuai kontroversi. RUU yang diperkirakan mampu menjawab masalah regulasi yang tumpang tindih rupanya justru mendapat banyak penolakan.
Hal itu disampaikan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Nabila Jusuf dalam artikel yang dirilis theconversation (16/10/2020). Menurutnya, istilah Omnibus Law dalam RUU adalah sesuatu yang baru. Namun demikian, ia mengatakan jika hal serupa secara substansi pernah dilakukan di Indonesia, khususnya untuk undang-undang yang serumpun saling berkaitan.
“Contohnya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi COVID-19 yang telah ditetapkan menjadi UU No.2 tahun 2020,” kata
Nabila mengungkapkan, setelah mengesahkan RUU Omnibus Law/Cipta Kerja pemerintah direncanakan akan mengesahkan tiga RUU lagi dengan jalur Omnibus Law. Yaitu RUU tentang Ibu Kota Negara, RUU tentang Kefarmasian, dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian,” tutur Nabila.
Menurutnya RUU Omnibus Law/Cipta Kerja sebagai bagian dari sebuah preseden legislasi yang buruk. RUU tersebut bahkan belum mampu menjawab problem regulasi tumpang tindih yang selama ini dikeluhkan. Salah satunya antara Undang-undang Mineral Batu Bara (UU Minerba) yang telah disahkan pada Juni lalu.
“Kita bisa melihat dari UU tentang pertambangan mineral dan batubara (UU Minerba) yang telah direvisi pada Juni, namun ada pasal-pasalnya yang masuk dalam UU Cipta Kerja juga,” terangnya.
Nabila menambahkan RUU Omnibus Law dinilai bertentangan dengan spirit awalnya mengurangi permasalahan regulasi yang tumpang tindih di Indonesia. Hal ini terindikasi dari adanya ratusan aturan teknis tambahan dibawah RUU Omnibus Law/Cipta Kerja. Bahkan dari segi judul pun RUU ini telah mengalami permasalahan, sebab tidak relevan dengan substansi di dalamnya.
“UU ini juga tidak sesuai antara isi dengan judul. Namanya Cipta Kerja, namun isinya lebih kepada pengaturan terkait investasi dan kemudahan berusaha,” ungkap Nabila.
Disisi lain, Nabila melihat adanya konflik kepentingan yang terjadi dalam pembuatan RUU Omnibus Law. Terutama jika dikaitkan dengan komposisi anggota legislative yang 55 persennya adalah kalangan pengusaha. Permasalahan lain yang juga melatarbelakangi RUU Omnibus Law/Cipta Kerja sebagai sebuah produk legislasi yang buruk, ialah adalah dugaan adanya pasal slundupan. Pasal yang dimaksud adalah masuknya empat pasal perpajakan. Belum lagi penutupan ruang partisipasi publik membuat masyarakat tidak bisa melakukan pengawasan terhadap proses penyusunan RUU.
Ia mengemukakan sejak tahap awal proses pembuatan RUU yang terdiri atas perencanaan, penyusunan, pembahasan dan hingga proses pengesahan terlihat sangat terburu-buru. Hal ini bisa dilihat dari pelaksanaan rapat-rapat pembahasan dilakukan dimasa reses dan di luar jam kerja. Belum lagi tidak tersedianya draf dalam pengesahan RUU serta beredarnya ragam versi draf RUU Omnibus Law/ Cipta Kerja.
“Ini membuktikan bahwa UU Cipta Kerja merupakan UU terburuk yang mengabaikan proses legislasi,” ujar Nabila.
Nabila menyarankan agar dilakukan pembatasan dalam penggunaan mekanisme Omnibus Law. Jika tidak hal ini akan membahayakan Indonesia dalam eksistensinya sebagai negara hukum dan demokrasi.
“Perlu sesegera mungkin dilakukan revisi terhadap UU PPP (peraturan perundang-undangan) untuk mengatur pembatasan penggunaan metode Omnibus. Misalnya soal batasan jumlah peraturan yang bisa di-omnibus-kan, format perancangan dan penulisan, waktu minimal pembahasan peraturan, serta kewajiban satu subjek dan lingkup pengaturan yang berkaitan,” jelasnya.
Penulis: Kukuh Subekti