ISLAMTODAY ID –Mendagri Tito Karnavian mengkritik sikap pemerintah provinsi (Pemprov) maupun pemerintah kabupaten/kota (Pemkab/Pemkot) yang mengendapkan dana triliunan rupiah di bank. Padahal dana tersebut mestinya dicairkan untuk kepentingan masyarakat ditengah suasana pandemi covid-19.
Tito mengungkapkan jumlah dana Pemda yang mengendap di bank mencapai Rp 252,78 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari Rp 76 triliun yang diendapkan Pemprov dan Rp 167 triliun yang diendapkan Pemkab/Pemkot). Padahal, kata Tito triliunan dana tersebut bersumber dari dana APBN dan APBD tahun 2020.
“Mohon kepala daerah, tidak cari aman, tapi bagaimana agar dana yang ada dibuat program yang betul-betul diperlukan dalam rangka krisis pandemi Covid-19,” kata Tito dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2020, Jum’at (22/10/2020) seperti dilansir CNN Indonesia.
Lanjut Tito, realisasi anggaran tiap-tiap Pemda masih sedikit. Pemprov misalnya, dari total anggaran senilai Rp336,27 triliun baru terserap 54 persen atau setara dengan Rp184,71 triliun. Sementara di tingkat Pemkab/ Pemkot baru terserap sebesar Rp427,84 triliun atau sekitar 50 persen dari alokasi yang mencapai Rp845,49 triliun.
Oleh karen itu Tito mengingatkan kepada seluruh Pemda agar segera merealisasikan anggaran belanja daerah yang masih tersisa sebesar 49 persen. Pasalnya, waktu yang tersisa tinggal dua bulan.
“Ini sudah Oktober, tinggal dua bulan setengah, tapi biasanya dua minggu terakhir Desember tidak ada belanja. Artinya, hanya tinggal dua bulan tapi belanja baru 51 persen,” jelas Tito.
Menurut Tito, ketika Pemda menyimpan uangnya di bank, maka program Pemda dinilai tidak sinkron dengan kebijakan pemerintah pusat. Bunga deposito tersebut tidak bisa beredar di masyarakat bahkan hanya bisa dinikmati oleh para pengusaha yang berafiliasi dengan Pemda.
“Ini disimpan tapi bunga tidak beredar ke masyarakat, diedar ke bank. Itu terafiliasi dengan pengusaha-pengusaha tertentu. Saya tidak mengerti apa ada pengusaha menengah kecil yang diberikan prioritas,” ujar Tito.
Problem Klasik Tahunan
Rendahnya serapan anggaran yang dilakukan oleh Pemprov maupun Pemkab/Pemkot adalah problem tahunan di Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng.
Menurutnya hambatan pengeluaran dana anggaran telah terjadi sejak tahun 2001 dengan problem yang sama seperti politik, teknis, dan hukum. Secara politik lambatnya pencairan disebabkan oleh lambatnya pengesahan APBD, dan ini bisa ditegur langsung oleh pemerintah pusat.
“Kalau masalahnya teknis, harus dicari masalahnya. Terkait hukum itu soal regulasi yang mungkin membingungkan dan menjebak, itu perlihat oleh Kemendagri. Jadi kasus per kasus harus dilihat,” jelas Robert dikutip dari sindonews.com (14/08/2020).
Ia menambahkan seharusnya hal ini tidak terjadi di tahun anggaran 2020. Sebab pemerintah telah memberikan fasilitas berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.
“Kalau terjadi tahun ini kebangetan. Kenapa? Karena SKB Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri itu minimal 35 persen APBD dipakai untuk realokasi anggaran dan refocusing program. Rinciannya, 50 persen dari belanja modal, belanja barang dan jasa, dan belanja aparatur,” ujar Robert.
Realisasi Belanja Pemda
Berikut ini rata-rata realisasi belanja Pemda di Indonesia dilansir dari ddtc.co.id (13/8/2020) di 34 provinsi secara nasional mencapai 47,36%.
Dari 34 provinsi, hanya lima provinsi yang realisasinya di atas rata-rata nasional, yakni DKI Jakarta 54,06%, Kalimantan Selatan 53,49%, Sumatera Barat 51,88%, Sulawesi Selatan 50,25% dan Gorontalo 48,81%.
Sementara kabupaten/kota, rata-rata realisasi secara nasional mencapai 47,36%. Kabupaten/kota dengan realisasi belanja tertinggi adalah Kabupaten Tegal sebesar 60,06%, diikuti Kabupaten Kutai Timur 56,78% dan Kabupaten Bener Meriah 56,55%.
Namun demikian masih ada 29 kabupaten/kota yang realisasi belanjanya masih di bawah 25%. Seperti, Kabupaten Deiyai yang hanya 15,28%, diikuti Kabupaten Boven Digoel sebesar 16,46%.
Disamping itu ada dua provinsi yang hingga semester I 2020 serapan anggarannya masih dibawah 25 persen yakni Papua dan Sulawesi Tenggara.
Dikutip dari tirto.id, rendahnya serapan anggaran berdampak pada tidak maskimalnya program pembangunan pemerintah. Dan hal ini dirasakan langsung oleh masyarakat. Menurut pengamat dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Satria Aji Imawan, rendahnya serapan anggaran membuat program pemerintah menjadi tersendat.
“Terkadang program ini bersentuhan dengan kebutuhan yang mendesak bagi publik. Misalnya, rencana pembangunan jalan yang tidak maksimal karena serapan rendah. Semestinya, aspal dapat dicor sepanjang 10 kilometer pada awal tahun, tapi karena penyerapan yang rendah baru tiga sampai lima kilometer” ujar Satria (28/3/2018).
Penulis Kukuh Subekti