ISLAMTODAY ID –Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap China. Secara ekonomi China menjadi tempat tujuan ekspor dan impor bagi Indonesia.
Pada tahun 2019, China menjadi negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, dengan nilai mencapai US$25,8 juta. Jumlah tersebut setara dengan 16,68 persen dari total ekspor Indonesia. Namun, ketergantungan impor Indonesia atas produk China nilainya jauh lebih tinggi, yakni sekiter sepertiga total impor Indonesia.
“Pada 2019 Tiongkok turut menjadi sumber impor terbesar Indonesia senilai US$44,5 juta setara dengan sepertiga total impor Indonesia,” kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M. Zulfikar Rahmat dalam diskusi virtual pada Ahad seperti dikutip gatra.com (1/11/2020).
Zulfikar menambahkan ketergantungan Indonesia terhadap China semakin terlihat, ketika kedua negara ini melakukan perjanjian investasi dan dagang dengan mata uang Yuan. Ia menilai hal ini sebagai sesuatu yang ‘luar biasa’ bagi hubungan Indonesia dan China.
Lanjut Zulfikar, hubungan Indonesia dan Tiongkok belakangan meningkat karena adanya adanya proyek Belt and Road Initiative Tiongkok yang digulirkan oleh presiden Tiongkok Xi Jinping pada tahun 2012 dan direalisasi pada tahun 2013.
Melalui proyek ini, Xi Jinping bermaksud Proyek membangun kembali jalur sutra di era modern yang memiliki dua jalur, yakni jalur darat dan jalur maritim. Bagi China, Indonesia menjadi negara yang cukup penting untuk memuluskan proyek tersebut. Sebab Indonesia merupajan salah satu negara maritim terbesar dalam lalulintss jalur sutera.
Zulfikar juga menilat manuver Tiongkok di Indonesia juga melalui kebudayaan. Ia mencatat sudah ada enam institusi Khonghucu di Indonesia. Menurutnya, pendekatan-pendekatan budaya yang dilakukan Tiongkok juga untuk melegitimasi kepentingan ekonomi dan politik negeri tirai bambu tersebut.
“Belakangan ini saya melakukan penelitian terhadap salah satu institusi Konghucu yang ada di Malang dan saya menemukan bahwa apa yang diajarkan di sana sangat erat kaitannya dengan kepentingan politik dan ekonomi Tiongkok,” ucapnya.
Kekhawatiran akan ketergantungan Indonesia pada China juga pernah disampaikan oleh Ekonom Senior Universita Indonesia (UI), Faisal Basri. Ia khawatir ketergantungan yang tinggi terhadap China akan menggerus kedaulatan Indonesia.
“Ini bukan urusan rasis tapi masalah ketergantungan yang kalau ada apa-apa di Cina kita bisa babak belur kalau ketergantungannya seperti ini,” tutur Faisal dilansir dari tempo.co (22/5/2020).
Faisal mengungkapkan kekhawatirannya tersebut setelah ia mencermati data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019. Kata Faisal, tingginya nilai impor Indonesia terhadap China tersebut salah satunya disebabkan oleh proyek-proyek investor dari Cina. Proyek-proyek tersebut biasanya menggunakan bahan baku bahkan para pekerja dari China.
Menurut Faisal, fenomena ketergantungan impor kepada China bahkan telah dimulai sejak 2010. Ia memprediksi, tren impor dari China ini terus mengalami kenaikan bahkan bisa mencapai 25 persen.
Faisal menuturkan, tingginya nilai impor Indonesia terhadap China juga dapat dilihat dari besaran impor sayur Indonesia hampir 67,5 persen. Selain impor sayur Indonesia juga melakukan impor alat telekomunikasi sebesar 53,1 persen. Selain itu juga impor semen sekitar 50,4 persen, pipa besi dari baja 40,4 persen, alumunium 34,1 persen, tembaga 32,4 persen, pupuk 31,2 persen, dan mesin keperluan industri tertentu 28,2 persen.
Sebaliknya, ia melihat ekspor Indonesia ke China merupakan sejumlah komoditas yang nilai tambahnya sedikit. Misalnya minyak kelapa yang pangsa ekspor ke Cinanya 19,5 persen, besi dan baja 33,6 persen, biji tembaga 44,7 persen, biji tembaga 44,7 persen, lignit 97,1 persen, hingga batu bara yang mencapai 17,5 persen.
“Jadi yang diekspor itu kekayaan alam kita yang nilai tambahnya sedikit, tapi kita impor berbagai produk manufaktur plus pangan kita,” jelas Faisal.
Belajar dari Srilanka
Kekhawatiranadanya ketergantungan Indonesia terhadap China ini pernah diulas oleh sindonews.com(5/9/2020). Dalam ulasannya mereka menyebut bahwa ke depan akan semakin banyak negara Asia dan Afrika yang sangat tergantung terhadap China. Ketergantungan dalam hal ekonomi akan membuat China dengan mudah melakukan intervensi terhadap politik dan pertahanan suatu negara.
Artikel tersebut memuat pula dampak jebakan utang dari China yang membuat sejumlah negara di Asia akhirnya ‘tunduk’. Negara-negara tersebut di antaranya Pakistan, Thailand, dan Myanmar. Salah satu negara yang menelan pil pahit akibat terlilit utang ialah Sri Lanka. Utang pembangunan proyek pelabuhan dari China senilai US$ 1,5 miliar ini membuat negara tersebut harus menandatangani kontrak pelayanan terhadap China hingga 99 tahun.
“Pada 2017 Sri Lanka harus merelakan pelabuhan tersebut kepada China karena tidak mampu membayar utangnya. Akibatnya, Sri Lanka harus menandatangani kontrak untuk melayani perusahaan milik negara China selama 99 tahun,” tulis sindonews dalam laporannya
Perlu diketahui bahwa China telah memulai sebuah proyek besar bernama Jalur Sutra Modern atau Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative). Sebuah proyek pembangunan bernilai utang ini dilakukan dengan cara pembangunan infrastruktur yang diluncurkan sejak 2013. Proyek ini melibatkan 138 negara dan 30 organisasi internasional yang meliputi bergabgai negara-negara di kawasan Asia, Afrika, dan Eropa dengan nilai US$ 8 triliun.
Klaim Istana
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marinvest) Luhut Binsar Pandjaitan. mengklaim bahwa China bisa membantu Indonesia dalam menyelamatkan perekonomian domestik.
“Ekonomi Tiongkok ini hampir 18 persen berpengaruh ke ekonomi global. Amerika kira-kira 25 persen. Jadi suka tidak suka, senang tidak senang, mau bilang apapun, Tiongkok ini merupakan kekuatan dunia yang tidak bisa diabaikan,” sepert dilansir dari islamtoday.id (9/6/2020)
Luhut mengungkapkan ada tujuh sektor industri yang mendapatkan dukungan dari China. Aneka sektor industri tersebut meliputi sektor pertanian, industri pengolahan, industri perdagangan besar maupun eceran, industri reparasi mobil atau motor, jasa konstruksi, industri transportasi, dan industri pertambangan. Ragam sektor industri tersebut diperkirakan akan mampu mendongkrak 69% ekonomi nasional.
Penulis: Kukuh Subekti