ISLAMTODAY ID — Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol muncul kembali dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR pada (10/11). Sebenarnya RUU ini pernah dibahas tujuh tahun lalu, masuk dalam prolegnas 2009/2014 dan dibahas dalam prolegnas 2013. Namun, perjalanan RUU ini diketahui tidak berjalan mulus.
Dilansir dari detikcom (4/7/2013), pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol dimulai sejak dikabulkannya gugatan Front Pembela Islam (FPI) oleh Mahkamah Agung (MA) pada 18 Juni 2013.
Gugatan FPI dilayangkan untuk pembatalan Keppres No.3/1997 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol.
“Putusan 42 P/HUM/2013 mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dan amar sesuai petitum pemohon,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur.
Mahkamah Agung melalui tiga hakimnya Dr Supandi, Dr Hary Djatmiko dan Yulius memutuskan bahwa Keppres yang diterbitkan oleh Presiden Suharto tidak berlaku lagi.
Keppres No.3/1997 ini dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Keppres tersebut juga bertentangan dengan UU No 36/2009 tentang Kesehatan, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No 7/1996 tentang Pangan.
Keberadaan RUU yang bernama RUU Larangan Minuman Berakohol ini diusulkan oleh 21 orang anggota DPR yang berasaal dari tiga fraksi di DPR PPP, PKS dan Gerindra.
Dilansir dari laman resmi DPR @dpr.go.id terungkap bahwa RUU Anti Minuman Berakohol ini telah diajukan permohonan pembahasannya di DPR sejak 24 Februari 2020 lalu. Pembahasan RUU ini di DPR pada periode sebelumnya diakui penuh dengan dinamika.
“Tetapi dinamika pembahasan tahun yang lalu itu sudah ditutup. (Namun) karena ada norma-norma baru, yang antara lain setiap orang dilarang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan mengkonsumsi minuman beralkohol. Di sini sudah ada draf yang (isinya) relatif sama dengan draf RUU yang sebelumnya dibahas dan penuh dinamika itu,” kata Wakil Ketua Baleg DPR Ibnu Multazam dalam sidang pembahasan di Gedung DPR yang berlangsung pada Selasa (10/11/2020).
Illiza Sa’aduddin Djamal anggota DPR dari Fraksi PPP selaku pengusul RUU mengungkapkan bahwa pembahasan RUU ini sangat mendesak, sebab hingga kini belum ada Undang-undang (UU) di Indonesia yang secara spesifik mengatur tentang minuman berakohol.
Minuman berakohol di Indonesia dimasukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengaturan dalam KUHP dinilai masih terlalu umum dan kurang tegas dalam mengatur minuman berakohol.
“Sebab itu melihat realitas iyang terjadi seharusnya pembahasan RUU Minuman Berakohol dapat dilanjutkan dan disahkan demi kepentingan generasi yang akan datang,” tutur Illiza dikutip dari Kompas (11/11/2020).
Illiza mengungkapkan keberadaan UU ini nantinya untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman berakohol. Tujuan lain dari UU ini adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahaya minuman berakohol.
“RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketenteraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol, selain itu adanya RUU ini juga untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol,” terangnya.
Dilansir dari Tempo (12/11), Illiza untuk menguatkan argumennya tentang pentingnya RUU Larangan Minuman Beralkohol memaparkan sejumlah data penting tentang banyaknya generasi muda Indonesia yang mengonsumsi minuman beralkohol.
Sebuah riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2007 menunjukan ada 4,9 persen remaja menjadi konsumen alkohol. Kemudian riset sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat pada 2014 mencatat jumlahnya melonjak menjadi 23 persen dari total jumlah remaja.
Senada dengan Illiza, anggota DPR dari fraksi PKS Bukhori Yusuf juga mengungkapkan pentingnya RUU Larangan Minuman Beralkohol di Indonesia. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kegagalan sejumlah regulasi yang sudah ada dalam melindungi generasi muda.
Menurutnya, Regulasi yang ada seperti peraturan menteri, peraturan pemerintah, peraturan presiden, hingga peraturan daerah dinilai belum mampu mencegah penyalahgunaan minuman beralkohol dikalangan anak muda.
“Di rancangan UU ini kita menawarkan satu solusi agar berbagai ancaman regulasi yang ada itu ditampung kemudian merujuk pada suatu UU, ada payung yang kemudian kuat dan jelas dan payung itu sifatnya minol (Minuman Beralkohol),” tutur Bukhori dikutip dari merdeka (13/11/2020).
Penolakan RUU Larangan Minuman Beralkohol
Sejumlah fraksi di DPR secara implisit Fraksi Golkar dan PDIP terlihat tidak setuju dengan pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini. Mereka memberikan sejumlah alasan yang melatar belakangi ketidak sepakatannya. Dilansir dari tempo (13/11) alasan yang menyebabkan Golkar tidak sepakat adalah faktor keragaman di Indonesia.
Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Baleg, Firman Soebagyo menjelaskan jika di Indonesia ada banyak daerah yang memanfaatkan minuman beralkohol sebagai minuman ritualnya. Ia menyebut daerah tersebut seperti Bali, Papua, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara.
Di sisi lain pembahasan RUU ini kerap menuai jalan buntu akibat tidak adanya kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR. Bahkan RUU ini juga telah dibahas oleh DPR periode 2014/2019.
Salah satu pon yang menyebabkan deadlock adalah sikap pemerintah yang tetap mempertahankan adanya pengaturan. Sementara pihak pengusul mengusulkan adanya pelarangan dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol.
“Pemerintah ketika mempertahankan terkait pengaturan, tetapi pengusul tetap kukuh terhadap pelarangan,” kata Firman.
“Jangan sampai nanti setelah disetujui diharmonisasi di DPR, sampai pimpinan tidak jalan. Atau sebaliknya dari pimpinan DPR sudah setuju sampai kepada tingkat pemerintah, pemerintah tidak setuju,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Kelompok Fraksi PDIP, Sturman Panjaitan. Ia juga menyinggung tentang keberagaman di Indonesia.
“Saya agama Kristen, di adat umat Kristen ada namanya perjamuan kudus, kami minum anggur. Itu alkohol juga meskipun kecil. Apa mau kita hentikan mereka enggak boleh lagi perjamuan kudus?” tutur Sturman.
Sikap Majelis Ulama Indonesia
Menanggapi Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (Minol) yang dibahas Badan Legislasi (Baleg) DPR, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr. Anwar Abbas mengimbau kepada pemerintah dan DPR untuk tidak tunduk pada keinginan pedagang.
“Menurut saya dalam membuat UU tentang Miras ini pemerintah jangan tunduk kepada keinginan pedagang. Dan juga jangan biarkan mereka mencari untung dengan merugikan dan merusak fisik serta jiwa dan agama orang lain yang mengkonsumsinya seperti halnya juga dengan narkoba,” ujar Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya Jumat (13/11), dilansir dari Republika.
Sekjen MUI ini menjelaskan, minuman keras itu tidak baik menurut agama maupun menurut ilmu kesehatan.
Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah dan DPR tidak boleh membuat peraturan yang akan membuat rakyatnya akan jatuh sakit dan atau akan terkena penyakit serta melanggar ajaran agamanya.
“Karena tugas pemerintah adalah melindungi rakyatnya dan pemerintah juga sudah tahu bahwa minuman keras itu berbahaya bagi yang mengkonsumsinya,” pungkasnya.
Apresiasi Langkah Gubernur Papua
Dr. Anwar Abbas pun mengapresiasi Langkah Gubernur Papua Lukas Enembe yang ingin melindungi rakyatnya dari minuman haram tersebut.
Sekjen MUI ini merasa kagum kepada Lukas Enembe yang benar-benar ingin memajukan Provinsinya dan melindungi rakyatnya.
“Di mana seperti kita ketahui beliau tetap ngotot untuk melaksanakan Perda Nomor 15 Tahun 2013 tentang pelarangan peredaran minuman keras di Bumi Cenderawasih,” tandasnya.
Dalam hal ini, menurut MUI, Gubernur Lukas Enembe tidak hanya menggunakan pendekatan agama tapi juga pendekatan rasional atau ilmu dan budaya. Menurutnya, Lukas Enembe mengetahui bahwa mengkonsumsi minuman keras itu berkorelasi dengan produktifitas, kesehatan dan kematian.
“Beliau melihat gara-gara minuman keras produktifitas rakyatnya menjadi bermasalah sehingga keinginan beliau untuk memajukan propinsinya terkendala oleh budaya dan perilaku sebagian rakyatnya yang tidak mendukung,” jelasnya.
Bahkan, Gubernur Papua tersebut telah menuding bahwa para penjual miras turut berperan dalam menambah jumlah putera Papua yang meninggal akibat minuman keras.
“Jadi minum minunan keras itu jelas tidak baik apalagi kalau kita lihat kaitannya dengan penyakit HIV/AIDS di mana seperti kita ketahui pintu masuknya adalah dari miras,” jelas Anwar.
“Untuk itu kita benar-benar mengimbau pemerintah dan para anggota DPR untuk berbuat baik dan yang terbaik bagi rakyatnya bukan sebaliknya karena dikutak kutik bagaimanapun yang namanya miras itu kesimpulannya adalah bahwa mafsadatnya jauh lebih besar dari maslahatnya,” tandasnya.
Penulis: Kukuh Subekti