(IslamToday ID) – Pakar hukum tata negara, Refly Harun mengatakan pasukan elit TNI seharusnya dipelihara dengan tidak dihadap-hadapkan dengan masyarakat sipil.
Hal itu diungkapkannya dalam video yang diunggah di akun YouTube Refly UNCUT bertajuk “Hanya Presiden Jokowi Yang Bisa Perintah Koopsus, Pasukan TNI Yang Datangi FPI!!”.
Dalam video itu, Refly awalnya membahas sebuah berita tentang pendapat dari Sekretaris Umum (Sekum) DPP Front Pembela Islam (FPI), Munarman atas kejadian keterlibatan TNI maupun keberadaan Koopsus di sekitaran markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat beberapa hari lalu.
Koopsus sendiri, kata Refly, baru dibentuk pada masa Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sekitar Juli 2019 lalu yang merupakan kumpulan tiga pasukan elit. Yaitu pasukan elit dari Angkatan Darat yakni Kopassus, pasukan elit dari Angkatan Laut yakni Denjaka, dan pasukan elit dari Angkatan Udara yakni Paskhas.
Pasukan Koopsus tersebut langsung berada di bawah Panglima TNI dengan penggunaan atas perintah dari Presiden Jokowi.
“Jadi kalau misalnya ada yang berani menggerakkan pasukan itu tanpa perintah presiden, berarti sudah melakukan yang namanya pembangkangan. Karena tidak boleh ada yang menggerakkan pasukan itu tanpa izin atas sepengetahuan presiden,” ujar Refly seperti dikutip dari RMOL, Selasa (24/11/2020).
Sehingga, kata Refly, dalam konteks silogisme, pernyataan Munarman dianggapnya masuk akal bahwa suara sirine di depan markas FPI tersebut bertujuan untuk menakut-nakuti, membuat jera atas nama presiden.
“Baik karena perintah langsung, maupun ya karena perintah tidak langsung. Ya misalnya perintah tidak langsung itu membiarkan orang lain melakukannya, tetapi tidak ditindak atau tidak ditegur,” katanya.
“Jadi luar biasa kita ini, padahal harusnya pasukan-pasukan elit seperti itu ya harus tambah dipelihara, harus tidak boleh berhadapan dengan masyarakat sipil,” tambahnya.
Padahal, kata Refly, tentara biasa saja tidak boleh berhadapan dengan masyarakat sipil. Apalagi, pasukan elit yang merupakan gabungan dari pasukan elit dari tiga angkatan dikerahkan untuk menghadapi masyarakat sipil.
“Tapi mudah-mudahan ini insiden yang ya mungkin tidak sengaja, bukan by design walaupun sulit mengatakan tidak by design, karena dalam waktu bersamaan ada penurunan baliho yang juga oleh pasukan loreng,” terangnya.
Refly pun berharap keterlibatan TNI dalam politik sipil tidak kembali terulang, karena tidak diperbolehkan oleh konstitusi maupun politik.
“Karena sekali lagi, berkali-kali saya katakan, senjata tidak mungkin kompatibel dengan demokrasi. Senjata itu alat rezim koersif, alat untuk menundukkan musuh dengan cara yang paling keras,” tuturnya.
“Sementara demokrasi menundukkan lawan debat, katakanlah lawan-lawan politik dengan akal budi, dengan akal dan budi kita. Jadi dengan pikiran dan hati,” tambahnya. [wip]