ISLAMTODAY ID — Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) mengecam keras isi pernyataan Calon Bupati Sukoharjo, Etik Suryani. Ia dinilai telah melakukan penistaan agama dengan mengatakan bahwa pengguna kerudung panjang sebagai seorang pendusta. Pernyataan ini dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap ajaran agama Islam.
DSKS dalam keterangan tertulis yang diterima Islamtoday.id pada (3/12/2020) menyebut pernyataan Etty tersebut sebagai penghinaan. Penggunaan jilbab, kerudung oleh setiap perempuan muslim adalah wujud ketaatan mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Etty dalam pernyataanya mengatakan, “Orasah nganggo kudung dowo, kudung dowo gur nggo ngapusi tok nggo opo?”, yang berarti “Tidak Usah Pakai Kerudung Panjang, Kerudung Panjang Hanya Buat Menipu Untuk Apa?”
“Pernyataan itu jelas menggambarkan bahwa menurut beliau, jilbab hanya sebagai alat untuk membohongi dan tidak berguna,” kata Sekretaris DSKS, Suwondo.
Suwondo menambahkan melalui pernyataanya di hadapan warga masyarakat Desa Gumpang, Kartasura pada (28/11/2020) Etty dinilai tengah berupaya untuk mempengaruhi para peserta khususnya para muslimah. Padahal, berjilbab adalah kewajiban yang seharusnya di perhatikan oleh para muslimah sebagai bentuk ketaatan mereka kepada Syariat Allah.
Ia juga menjelaskan tentang tindakan pelecehan yang dilakukan oleh Etty terhadap dua ayat tentang kewajiban menutup aurat dalam Al-Qur’an. Ayat yang dimaksud ialah Qur’an surat An-Nur ayat 31 dan surat Al-Ahzab ayat 59.
Atas serangkaian tindakan tersebut DSKS mendesak pihak kepolisian untuk mengusut kasus yang melibatkan istri Bupati Sukoharjo saat ini, Wardoyo Wijaya. Mereka mengajukan tiga tuntutan kepada Etty.
“(Pertama), menarik kembali ucapan beliau di atas, dan mengakui kesalahannya. (Kedua) Beristighfar dan bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla atas segala kekhilafan yang dilakukan,” tutur Suwondo.
“(Ketiga) meminta maaf kepada umat Islam dan disebarkan ke media massa, cetak, elektronik dan sosial,” jelasnya.
Bukan Delik Pemilu
Sementara itu, Tim Advokasi Reaksi Cepat (TARC), Muhammad Taufiq mengungkapkan bahwa kasus yang melibatkan Etty tersebut bukan hanya delik pemilu. Bahkan kasus tersebut berpotensi menyerupai kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Surat Al-Maidah ayat 51. Saat itu Ahok dikenai pasal 156A Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama.
Taufiq mengatakan bahwa kasus yang menjerat Etty bukan delik pemilu, namun delik biasa maka pihak polisi bisa tetap memprosesnya meskipun momentum Pilkada 2020 telah selesai.
“Penistaan agama merupakan delik biasa yang tetap bisa diproses secara hukum namun tidak merupakan delik pemilu. Setelah berakhirnya proses pemilu kepolisian tetap harus memproses aduan,” ungkap Taufiq.
Ia juga mengatakan sesuai dengan Pasal 156A KUHP ancaman pidana penjara bagi Etty ialah lima tahun penjara. Selain itu ia juga memaparkan ketentuan yang diatur dalam UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dimana dalam UU tersebut tidak mengatur tentang penistaan terhadap agama.
Selanjutnya ia menyebutkan poin-poin yang masuk dalam kategori tindak pidana pemilu yang dimaksud oleh UU No.7/2017:
- Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih;
- Kepada desa yang melakukan tindakan menguntukan adatau merugikan peserta pemilu;
- Orang yang mengacaukan, menghalang, atau mengganggu jalannya kampanye pemilu;
- Orang yang melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU;
- Pelaksana kampanye pemilu yang melakukan pelanggaran larangan kampanye;
- Memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu;
- Menyebab orang lain kehilangan hak pilihnya;
- Menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan;
- Memberikan suaranya lebih dari satu kali.
Penulis: Kukuh Subekti