ISLAMTODAY ID — Pernyataan Calon Bupati Sukoharjo Etik Suryani tentang kerudung panjang dinilai sebagai bentuk penistaan agama.
Menurut Tim Advokasi Reaksi Cepat Tanggap (TARC), Kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Etik bahkan melebihi kasus penistaan agama yang pernah dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 30 September 2016 silam.
TARC menilai Etik telah menistakan dua ayat Al-Qur’an sekaligus yakni Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31 yang isinya tentang kewajiban menutup aurat bagi setiap muslimah.
“Kalau Ahok (Al-Maidah ayat 51) satu ayat tapi ibu Etik ini dua ayat sudah dinistakan,” tegas Dewi selaku perwakilan dari Aliansi Anti Penistaan dan Diskriminasi (Aspirasi). dalam jumpa pers yang diadakan oleh Tim Advokasi Reaksi Cepat Tanggap (TARC) pada Jum’at (04/12/2020).
Dewi mengungkapkan jika kritiknya kepada Etik sama sekali tidak ada kaitan dengan adanya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang tengah diikuti oleh Etik. Baginya tuntutan atas kasus Etik agar dibawah ke ranah hukum ialah bagian dari bentuk pembelaan seorang muslim kepada agamanya. Tindakan bela agama tidak hanya diberlakukan terhadap mereka yang non muslim saja melainkan juga kepada sesama muslim.
“Bahwa umat Islam ini tidak hanya reaksi terhadap non muslim ketika non muslim itu menghina Al-Qur’an tetapi seorang muslim pun ketika dia melecehkan Al-Qur’an kami pun akan marah,” tutur Dewi.
Dewi menambahkan jika tuntutan agar kasus penistaan yang dilakukan oleh istri Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya diproses secara hukum tidak ada kaitannya dengan radikalisme.
Tuntutan yang ditujukan kepada Etik dikaitkan dengan tindakannya yang dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap kebenaran firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an.
Sebagai muslim yang berstatus mualaf Dewi merasa kecewa dan marah dengan pernyataan yang disampaikan oleh Etik yang mengaitkan kerudung panjang untuk tindakan kebohongan.
Menurutnya, kerudung ialah bagian dari busana muslimah yang berfungsi untuk melindungi setiap muslimah, bukan berbohong. Jikalaupun ada kasus demikian hal itu dilakukan oleh oknum tertentu saja.
“(Kami mewakili muslimah Solo Raya), kami tidak terima atas penghinaan, penistaan ini,” ucap Dewi.
“Maka saya minta yang bersangkutan ini betul-betul meminta maaf. Tidak (hanya) meminta maaf, ada proses hukum yang berlaku,” tegas Dewi.
Ancaman Pidana Serupa Ahok
Ketua TARC, yang juga merupakan pakar hukum pidana Muhammad Taufiq mengatakan bahwa Etik telah melakukan tindakan penistaan agama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 156A Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga bisa dipastikan jika Etik akan menerima ancaman pidana yang sama seperti yang pernah diterima oleh Ahok. Artinya Etik akan menerima hukuman penjara selama lima tahun.
“Ancaman hukumannya sama dengan Ahok lima tahun. Artinya orang ini ketika diproses bisa dipenjara,” tegas Taufiq.
Ia juga mengungkapkan jika kasus yang menjerat Etik ini tidak masuk dalam tindak pidana pemilu. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum. UU tersebut tidak mengatur hal yang terkait dengan penistaan agama, sehingga penistaan agama masuk dalam delik biasa.
“Penistaan agama merupakan delik biasa yang tetap bisa diproses secara hukum namun tidak merupakan delik pemilu. Setelah berakhirnya proses pemilu kepolisian tetap harus memproses aduan,” jelas Taufiq.
Sebelumnya telah beredar video pernyataan Etik terkait aksi kampanye yang disertai dengan tindakan penistaan agama yang dilakukan pada Sabtu (28/11/2020) yang berlangsung di Gumpang, Kartasura, Sukoharjo. Dilansir dari rmoljateng (2/12/2020), Etik dalam video tersebut mengatakan “Ora usah kerudung dowo, kerudung dowo gur nggo ngapusi nggo opo, nggih.” Artinya tidak usah kerudung panjang, kerudung panjang hanya untuk berbohong buat apa ya kan?
Bukan Delik Pemilu
Tim Advokasi Reaksi Cepat (TARC), Muhammad Taufiq mengungkapkan bahwa kasus yang melibatkan Etty tersebut bukan hanya delik pemilu. Bahkan kasus tersebut berpotensi menyerupai kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Surat Al-Maidah ayat 51. Saat itu Ahok dikenai pasal 156A Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama.
Taufiq mengatakan bahwa kasus yang menjerat Etty bukan delik pemilu, namun delik biasa maka pihak polisi bisa tetap memprosesnya meskipun momentum Pilkada 2020 telah selesai.
“Penistaan agama merupakan delik biasa yang tetap bisa diproses secara hukum namun tidak merupakan delik pemilu. Setelah berakhirnya proses pemilu kepolisian tetap harus memproses aduan,” ungkap Taufiq.
Ia juga mengatakan sesuai dengan Pasal 156A KUHP ancaman pidana penjara bagi Etty ialah lima tahun penjara. Selain itu ia juga memaparkan ketentuan yang diatur dalam UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dimana dalam UU tersebut tidak mengatur tentang penistaan terhadap agama.
Selanjutnya ia menyebutkan poin-poin yang masuk dalam kategori tindak pidana pemilu yang dimaksud oleh UU No.7/2017:
- Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih;
- Kepada desa yang melakukan tindakan menguntukan adatau merugikan peserta pemilu;
- Orang yang mengacaukan, menghalang, atau mengganggu jalannya kampanye pemilu;
- Orang yang melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU;
- Pelaksana kampanye pemilu yang melakukan pelanggaran larangan kampanye;
- Memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu;
- Menyebab orang lain kehilangan hak pilihnya;
- Menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan;
- Memberikan suaranya lebih dari satu kali.
Penulis: Kukuh Subekti