ISLAMTODAY ID — Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di Kota Solo menuai banyak komentar. Pilkada ini bahkan diwarnai dengan berbagai yang mengundang polemik seperti majunya putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Walikota Surakarta. Selain itu kejanggalan-kejanggalan yang muncul selama proses pelaksanaan Pilkada Solo.
Polemik dan kejanggalan yang terjadi dalam Pilkada Solo mengundang kritik pedas dari Pakar Hukum Pidana alumni UNS, Dr. Muhammad Taufiq. Menurutnya sejumlah kasus kejanggalan yang muncul dalam Pilkada Solo seperti proses verivikasi faktual (verfak) lalu pencocokan dan penelitian (coklit) menjadi faktor penyebab mengapa Pilkada Solo bisa batal secara hukum.
“Sangat bisa (dibatalkan secara hukum), kenapa? Karena Pilkada di saat pandemi itu penuh kecurangan,” tegas Taufiq.
“Jauh-jauh hari (saya) meminta nggak usah ada Pilkada. Ya karena itu, verifikasi faktual dan coklitnya tidak bisa dipertanggungjawabkan,” terang Taufiq.
Taufiq menjelaskan beberapa alasan yang menyebabkan hasil verfak dan coklit tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pertama ia menyebut, verfak berlangsung tidak secara fair terbukti dengan ditemukannya sejumlah bukti pemalsuan, data dukungan yang fiktif. Nama-nama yang dicantumkan diduga menggunakan data yang berasal dari daftar pemilih dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub).
“Nampaknya ini mencari data dari Pilgub gitu dan itu nggak betul,” jelasnya.
Ia menyarankan jika hal tersebut tidak benar dan tidak ingin ada tuduhan macam-macam, maka sudah seharusnya pihak KPUD Surakarta bersedia membuka fakta sebenarnya di balik kasus kejanggalan tersebut. Keberadaan dukungan fiktif ini bahkan cukup kuat untuk membatalkan pencalonan.
Ia berpendapat sejak awal Pilkada Solo tahun ini tidaklah menarik. Pilkada 2020 ini dianalogikannya seperti sebuah pertempuran antara goliat dan pendukungnya. Tentu hal ini sangat tidak fair, dan terlihat seperti sebuah permainan.
“Tidak menarik itu, jadi kalau bicara olahraga namanya olahraga smackdown, seolah-olahraga ternyata main-mainan,” tutur Taufiq.
Situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini membuat perhelatan Pilkada berjalan tidak sebagaimana mestinya. Munculnya berbagai kecurangan dengan dalih pandemi bisa jadi menyebabkan beberapa tahapan pemilu berlangsung fiktif, seperti tahapan coklit dan kasus surat dukungan yang fiktif.
“Dalam fase-fase seperti itu seorang calon bisa digugurkan karena dia melakukan kecurangan. Tanpa perlu menunggu hasil perhitungan terakhir bahkan ketika dia masih menjadi calon pun dia bisa digugurkan,” jelas Taufiq.
Taufiq menduga sikap nekad pemerintah untuk mengadakan Pilkada di tengah pandemi tidak lepas dari adanya proyek-proyek besar di dalam pemilu. Seperti proyek alat pelindung diri (APD), pengadaan surat suara serta katering (konsumsi).
“Karena disitu (di Pilkada) ada tender pengadaan APD ya, dan itu keuntungan besar, ada catering, pengadaan kertas dan seterusnya. Keuntungan besar itu masalahnya,” tandasnya.
Rentetan Kejanggalan
Kejanggalan yang paling kentara dalam Pilkada Solo ini terlihat jelas saat verifikasi factual (verfak) pasangan Bagyo Wahyono-FX Suparjo (Bajo). Dalam verfak tersebut ditemukan adanya pemalsuan dukungan yang dilakukan oleh pasangan Bajo. Kasus ini pun telah dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Solo.
Dilansir dari sindonews (13/8/2020) Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP) melaporkan kasus pemalsuan tanda tangan yang dilakukan oleh pasangan Bajo. Tiga orang warga Solo yang berasal dari tiga kecamatan berbeda di Kota Solo melaporkan kasus tersebut ke Bawaslu Kota Solo.
Warga yang melaporkan pelanggaran dalam Pilkada Solo ini ialah Trisno Subagyo, warga Kelurahan Mojosongo, Sapardi, warga Kelurahan Pajang, dan Muhammad Halim dari Kelurahan Laweyan.
“Saya tidak pernah menyerahkan surat dukungan atau persyaratan lainnya. Apalagi tanda tangan. Padahal ada persyaratan fotocopy KTP, dan berkas lainnya,” tutur Trisno (12/8/2020).
Kuasa Hukum PWSPP, Sigit N Sudibyanto bahkan menduga kasus pemalsuan tanda tangan dukungan tersebut jumlahnya lebih banyak lagi. Ia saat itu berencana membuka posko pengaduan tentang pemalsuan tanda tangan.
Sigit mengungkapkan pemalsuan tandatangan surat dukungan tersebut akan dijerat dengan sanksi pidana. Hal ini diatur dalam pasal 185A ayat 1 UU No.10/2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 1/2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No. 1/2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang.
Namun sangat disayangkan laporan dari masyarakat tersebut akhirnya diberhentikan oleh Bawaslu Kota Solo. Bawaslu mengumumkan menghentikan pengusutan laporan tindak pidana tersebut pada (18/8/2020) atau selang satu pekan pasca pelaporan yang dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dalam PWSPP tersebut. Tindakan sewenang-wenang ini akhirnya membuat Bawaslu Kota Solo harus dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Ketua Bawaslu Solo, Budi Wahyono dan Poppy Kusumo selaku divisi penindakan dan pelanggaran Bawaslu dinilai telah melakukan pelanggaran kode etik. Atas tindakan Bawaslu tersebut keduanya secara resmi dilaporkan ke DKPP pada (19/8/2020).
“Pada hari ini (Rabu) kami telah melayangkan surat aduan kepada DKPP melalui jasa kurir. Yang kami adukan Ketua Bawaslu Solo, Budi Wahyono, serta Divisi Penindakan dan Pelanggaran,” kata Sigit dilansir dari soloposcom (19/8/2020).
Sigit yang juga Ketua dari Tim Advokasi Pilkada Jujur dan Adil (Takjil) mengemukakan kasus pelanggaran kode etik ini diatur dalam Peraturan DKPP No. 02/2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Jika terbukti melakukan pelanggaran maka pihak teradu, Budi dan Poppy akan menerima sejumlah sanksi. Sanksi tersebut diantaranya berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara hingga pemberhentian secara permanen.
“Patut diduga teradu telah melanggar asas-asas, norma-norma, kode etik dan atau prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya prinsip adil, kepastian hukum dan tertib,” ujar Sigit.
Kasus pelaporan Bawaslu Solo oleh Sigit dan teman-teman hingga kini belum diketahui hasilnya. Berdasarkan hasil penelusuran tidak diketahui pasti perkembangan kasus ini. Berbeda dengan pelaporan terhadap Bawaslu lainnya di Solo seperti Bawaslu Sragen, Sukoharjo, dan Boyolali.
Penulis: Kukuh Subekti