(IslamToday ID) – Kesadaran politik ulama di masa lalu sebelum negara Indonesia terbentuk, terekam di berbagai ingatan sejarah. Kesadaran itu tak pelak banyak disadari setelah para ulama melakukan ibadah haji, dan kembali ke Indonesia dengan semangat jihad fi sabilillah.
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Miskat Al Anwar, Gus Roy Murtadho menjelaskan, posisi ulama dengan kesadaran politik melawan imperealisme dan kolonialisme salah satunya terekam dalam gerakan di 1888. Di mana kala itu kaum agamawan dan petani bersatu melawan kolonialisme di wilayah Banten.
“Boleh dikatakan, setelah pergi haji barulah kesadaran politik para ulama ini meningkat. Dan Banten menjadi salah satu wilayah yang paling banyak peminat hajinya, sehingga para kiai di akar rumput sangat mudah mengajak masyarakat untuk melawan penjajah,” kata Gus Roy dalam kajian live streaming “Seabad Sartono Kartodirodjo: Petani, Agama, Pemberontakan, dan Imprealisme Kapital”, Senin (15/2/2021), seperti dikutip dari Ihram.
Ia menjelaskan, para kiai atau ulama-ulama rakyat yang berangkat ke Mekah dan berhaji banyak menimba ilmu dan kembali ke Indonesia dengan semangat mendalam mengenai pembebasan bangsa. Ciri-ciri dari golongan ulama pada masa itu adalah dengan hadirnya semangat kebangkitan yang dengan sendirinya meradikalisasi gerakan rakyat untuk melawan penjajah.
Gus Roy menjelaskan, hampir seluruh kiai rakyat yang berangkat haji dan kembali ke Indonesia semuanya menjadi ulama berpengaruh. Mereka, katanya, mendirikan pesantren dan lalu menyerukan slogan jihad fi sabilillah dalam konteks kenegaraan.
Peneliti Agrarian Resources Center (ARC), Hilma Safitri menambahkan, posisi ulama pada masa itu cukup luar biasa dalam menggerakkan rakyat dan petani melawan imperealisme kapital. Ulama, katanya, bukan hanya menjadi pemicu gerakan pemberontakan terhadap penjajah saja, namun aktif menjadi aktor yang mengusung semangat religi-kebangsaan. [wip]