(IslamToday ID) – Pemerintah maju mundur dalam merevisi Undang-Undang No 9/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Wacana revisi yang dilontarkan Presiden Jokowi ini sempat beralih menjadi pembuatan pedoman interpretasi. Namun, kini pemerintah menyatakan tengah menyiapkan dua tim, masing-masing untuk pedoman tafsir dan revisi UU ITE.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G Plate sebelumnya mengatakan kementeriannya mendukung Mahkamah Agung (MA), kepolisian, kejaksaan, kementerian atau lembaga terkait dalam membuat interpretasi resmi terhadap UU ITE. “Agar lebih jelas dalam penafsiran,” kata Johnny seperti dikutip dari Antara, Rabu (17/2/2021).
Saat dikonfirmasi, Johnny mengatakan pemerintah tengah membentuk dua tim yang terdiri dari tim pedoman tafsir untuk pegangan bagi aparat penegak hukum dan tim revisi UU ITE. Namun, ia tidak memberikan keterangan lebih lanjut perihal bentuk hukum serta pelaksanaan dari pedoman interpretasi UU ITE tersebut.
Sekjen Partai Nasdem ini juga tidak menjawab ihwal kapan pemerintah akan mengajukan draf revisi UU tersebut kepada DPR. “Kami memberikan kesempatan kepada kedua tim bekerja terlebih dahulu,” katanya, Jumat (19/2/2021) seperti dikutip dari Lokadata.
Sebelumnya, wacana revisi UU ITE ini disampaikan Presiden Jokowi. Ia mengatakan jika UU ITE dirasa tidak bisa memberikan rasa keadilan, pemerintah akan meminta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi.
“Karena di sinilah hulunya. Hulunya ada di sini ya direvisi, terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” kata Jokowi, Senin (15/2/2021).
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga meminta kepada Kapolri agar jajarannya lebih selektif dalam menerima pelaporan pelanggaran UU ITE. Menurutnya, sejumlah pasal yang multitafsir harus diterjemahkan secara hati-hati. “Buat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal UU ITE biar jelas,” katanya.
Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, Kapolri telah menginstrusikan jajaran Polda dan Polres untuk membuat pedoman tentang kasus-kasus pelanggaran UU ITE. “Pedoman tersebut nantinya akan dijadikan pegangan para penyidik Polri saat menerima laporan,” katanya, Kamis (18/2/2021).
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baedowi menyebut revisi UU ITE sebenarnya telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2020-2024 nomor urut 7 dari usulan DPR RI. “Namun belum masuk Prolegnas prioritas tahun ini,” kata legislator PPP ini.
Menurut Baedowi, revisi UU ITE bisa masuk Prolegnas prioritas 2021 ini kalau DPR kembali melakukan rapat kerja. “Atau bisa juga nanti di paripurna diputuskan. Namun, perlu ditegaskan bahwa keputusan Prolegnas harus dibuat dalam rapat tripartit antara DPR, pemerintah, dan DPD,” katanya.
Revisi UU ITE Dibutuhkan
Alih-alih mendorong percepatan revisi UU ITE, niatan pemerintah membentuk pedoman interpretasi diyakini tak akan menyelesaikan masalah. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, rencana penyusunan pedoman tidaklah tepat dan justru membuka ruang baru melakukan kriminalisasi.
“Pemerintah seharusnya mencabut seluruh pasal yang dinilai bermasalah dan rentan disalahgunakan akibat penafsiran yang terlalu luas,” kata Erasmus dalam rilisnya bersama Koalisi Masyarakat Sipil.
Menurutnya, keyakinan koalisi bahwa penyusunan pedoman tidak menyelesaikan masalah UU ITE ini muncul dari sejumlah latarbelakang. Pertama, pengaturan mengenai tindak pidana kepada sebuah ekspresi sangatlah samar dan subjektif, sehingga sulit dibuat standar interpretasi yang tegas dan berkepastian hukum.
Kedua, ketentuan mengenai pemidanaan terhadap tindak pidana ekspresi tidak hanya diatur dalam UU ITE saja, melainkan juga dalam UU lain, seperti mengenai defamasi dalam pasal 310 dan 311 KUHP, penodaan agama pasal 156a KUHP & UU No 1 Tahun 1/PPNS Tahun 1965, dan tindak pidana menyebarkan berita bohong dalam pasal 14 & pasal 15 UU 1/1946.
“Ketentuan pemidanaan kepada ekspresi dalam berbagai peraturan tersebut juga memiliki permasalahan yang sama,” kata Erasmus.
Ketiga, ketentuan tindak pidana terhadap ekspresi tersebut selain telah membungkam dan memakan banyak korban, juga telah menciptakan budaya saling lapor melapor. Kondisi ini bukan situasi yang ideal bagi kehidupan demokrasi.
“Rencana penyusunan pedoman interpretasi UU ITE tidak akan mengubah situasi semakin tergerusnya ruang kebebasan sipil yang sudah telanjur terjadi saat ini,” katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dari tiga indeks demokrasi Indonesia (IDI) per 2019, indikator kebebasan sipil menjadi satu-satunya yang merosot, yakni turun 1,26 poin dari tahun sebelumnya menjadi 77,20.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menambahkan, pembentukan pedoman tafsir atas UU ITE pada praktiknya tidak akan mengikat karena kekuasaan kehakiman itu bebas atas intervensi apapun. Menurutnya, kekuasaan kehakiman ini mulai dari kekuasaan penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
“Secara yuridis tidak mengikat kekuasaan menyidik dan menuntut, sekalipun dua-duanya di bawah eksekutif/presiden. Pedoman bersifat tidak mengikat dan boleh digunakan, boleh juga tidak,” kata Abdul.
Karena itu, alih-alih membentuk pedoman, Abdul mendesak revisi UU ITE perlu dilakukan segera karena menghambat kehidupan berdemokrasi. “Ada unsur yang tidak jelas baik secara substansi dan implementasi tafsir karet oleh penegak hukum. Suasana saling menuntut lebih jauh menghambat dan melemahkan demokrasi,” katanya.
Perbaikan UU ITE Harus Menyeluruh
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar mengatakan revisi terhadap UU ITE mestinya tidak dilakukan secara terbatas, melainkan harus menyeluruh.
Ia berpendapat hal ini karena UU tersebut bersinggungan dengan proses legislasi aturan lain, seperti RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), RUU Keamanan Siber, dan amandemen terhadap UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi.
Menurut Wahyudi, demi memastikan pengaturan yang harmonis dan minim risiko bagi pemangku kepentingan dan pengguna di dalamnya, pemerintah dan DPR sebaiknya merumuskan terlebih dahulu arah dan model politik hukum pengaturan teknologi informasi dan komunikasi ke depannya.
Ia menyebut otoritas terkait memiliki dua pilihan terkait hal itu. Pertama, dengan model satu atap seperti terjadi hari ini melalui UU ITE yang mengatur berbagai hal, mulai dari sistem elektronik, transaksi elektronik, hingga kejahatan elektronik.
Kedua, mengembangkan model dan pendekatan yang lain dengan tetap mempertimbangkan aspek teknologi dan konvergensinya.
“Prinsipnya, dalam merespons perkembangan inovasi teknologi yang cepat, hukum perlu bersifat supel, yang berarti mampu mengantisipasi setiap perubahan di masa depan,” kata Wahyudi. [wip]