ISLAMTODAY ID —- Proyek Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande, Kota Banda Aceh dinilai sebagai sebuah kecelakaan sejarah karena dibangun di atas lahan situs sejarah Kerajaan Aceh.
Adapun proyek itu sudah dihentikan pada tahun 2017 lalu dan diminta untuk direlokasi ke tempat lain.
Hal itu diungkapkan mantan Koordinator Tim Pemantau Otonomi Khusus (Otsus) Aceh Papua dan Keistimewaan Yogyakarta, H Firmandez, Kamis, 25 Februari 2021.
Menurutnya, pada Senin, 23 Oktober 2017 bertempat di Ruang Potensi lantai 3 Kantor Gubernur Aceh, pihaknya sudah pernah membahas soal penghentian dan relokasi proyek IPAL tersebut.
“Saat itu saya sebagai Koordinator Tim Pemantau Otsus bersama rekan-rekan di DPR RI sudah membahasnya dengan Pemerintah Aceh, proyek IPAL di kawasan situs sejarah Gampong Pande, Kecamatan Kutaradja, Kota Banda Aceh, saat itu diputuskan akan dihentikan, untuk melanjutkan proyek akan direlokasi ke tempat lain,” pungkas H Firmandez.
Mantan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh tiga periode ini menambahkan, dirinya bersama Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon pada saat itu juga sudah turun langsung ke lokasi IPAL Gampong Pande melihat situs kuburan yang ditemukan di lokasi tersebut.
Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf juga memerintahkan dinas terkait untuk melakukan penelitian dan mencari kuburan-kuburan penting di situs sejarah tersebut.
“Proyek IPAL Gampong Pande saat itu didanai APBN senilai Rp 107 miliar di lahan seluar 1,6 hektar. Karena pembangunannya sudah jalan, maka diputuskan bahwa infrastruktur yang sudah dibangun di sana akan dialihfungsikan menjadi situs wisata sejarah. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) juga akan dipindahkan ke Blang Bintang. Saya kurang paham mengapa sekarang Pemerintah Kota Banda Aceh meminta agar proyek IPAL itu dilanjutkan” jelas H Firmandez.
Menurut H Firmandez, pada tahun 2017 itu pihaknya juga sudah meminta agar Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh bersama Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat melalui Meteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk mencari jalan tengah sebagai solusinya.
“Bagaimana pun itu marwah Aceh, situs sejarah harus diselamatkan. Apa lagi sejumlah pihak termasuk Wali Nanggroe selaku lembaga adat dan keturuan raja-raja sudah meminta agar proyek itu dihentikan. DPRK Banda Aceh juga sudah merekomendasikan untuk dihentikan. Solusinya lebih baik direlokasikan saja ke tempat lain,” tandas H Firmandez.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) Himpunan Pengusaha Swadiri Indonesia (HIPSI) ini melanjutkan, saat itu juga ada memorandum yang disampaikan oleh ahli waris raja-raja Aceh yang menjadi pertimbangan bersama, apalagi lokasi proyek IPAL itu merupakan tempat awal mula Kerajaan Aceh didirikan oleh Sultan Johansyah pada tanggal 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205 M, yang menjadi Kilometer Nol Kota Banda Aceh.
“Hasil kajian arkeolog Lucas Partanda Goestoro juga menyebutkan Gampong Pande sebagai Important Sites In North Sumatera Island. Ini menunjukkan tempat tersebut merupakan sebuah bekas kota pusat peradaban Aceh masa lalu. Makanya kami Tim Pemantau Otsus saat itu menjumpai pewaris raja-raja Aceh terkait proyek IPAL tersebut,” ungkap H Firmandez.
Sementara itu, terkait mengapa sekarang Pemko Banda Aceh meminta agar proyek IPAL itu dilanjutkan setelah dihentikan hampir empat tahun lalu, H Firmandez menyarankan agar persoalan itu ditanyakan langsung kepada Pemko Banda Aceh dan Pemerintah Aceh.
Sumber: Portalsatu