ISLAMTODAY ID — Organisasi Pelajar Pecinta Sejarah Aceh (PELISA) menolak keras pembangunan IPAL di Gampong Pande, Banda Aceh, Sabtu, (27/02/2021).
“Kami selaku pelajar sangat mengecam dan mengutuk keras terhadap pembangunan proyek IPAL diwilayah peninggalan situs-situs makam Kesultanan Aceh Darussalam, terutama di wilayah Gampong Pande dan Gampong Jawa, karena disitu terdapat banyak makam-makam yang sudah berusia ratusan tahun dan mempunyai nilai sejarah yang sangat penting untuk kami selaku generasi penerus nantinya,” demikian pernyataan Bagus Indrawan selaku salah satu pengurus PELISA.
Bagus Indrawan juga menambahkan, pihaknya menilai Pak Walikota Banda Aceh adalah orang yang tidak mepunyai rasa syukur dan rasa terimakasih kepada para leluhur Aceh terdahulu yang telah memperjuangkan Agama Islam dan menjadikan Aceh Darussalam sebagai satu-satunya kesultanan Islam terbesar di Asia Tenggara.
Sementara itu, Ketua PELISA Hidayat Al Qahar penolakan IPAL di gampong pande tersebut merujuk pada aturan Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya itu jelas disebutkan bahwa benda berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih itu wajib dilindungi, nah apa yang terjadi saat ini di Kota Banda Aceh sangat miris dan tragis mengingat peninggalan sejarah Aceh.
“Seakan-akan hal sepele bagi pemangku kekuasaan disana, sampai-sampai Makam-makam Era Kesultanan Aceh Darssalam mau digusur dijadikan tempat pembuangan sampah dan tinja, ini sangat berbanding terbalik dengan kompleks pemakaman serdadu penjajah Belanda Kerkhof Peucut yang ada di Banda Aceh yang diperlakukan sangat istimewa, menurut kami ini adalah KEDURHAKAAN besar yang telah di lakukan oleh anak bangsa sendiri,” tegas Hidayat.
Oleh karena itu PELISA juga mengajak semua elemen lapisan masyarakat untuk menolak pembangunan tempat pembuangan tinja di situs warisan sejarah Gampong Pande.
Sebagaimana diketahui, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Menurut PELISA, sikap pemerintah kota Banda Aceh sungguh disayangkan dan tidak mendukung upaya untuk pelestarian kawasan situs bersejarah.
“Seharusnya pemerintah melakukan Pemugaran agar kondisi fisik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya. Bukan malah mendukung untuk memusnahkan”, tandasnya.
“Bisa kita lihat perbedaan cara menjaga kawasan situs bersejarah. Kompleks makam 150 m x 200 m berdiri megah di tengah Kota Banda Aceh dan menjadi kediaman abadi lebih dari 2.200 tentara Belanda yang tewas sewaktu perang Perang Belanda di Aceh sejak tahun 1873 M hingga tahun 1942 itu betul-betul dirawat dengan baik”, ungkap Hidayat.
Untuk diketahui, Program kelanjutan Pembangunan IPAL kembali mencuat setelah setelah Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman, dalam suratnya nomor: 660/0253, tanggal 16 Februari 2021, perihal lanjutan pembangunan IPAL Kota Banda Aceh, ditujukan kepada Menteri PUPR c/q. Dirjen Cipta Karya, di Jakarta.
Sumber: Acehsatu