(IslamToday ID) – Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) laskar FPI, Abdullah Hehamahua mengkritik langkah kepolisian menetapkan enam laskar FPI yang sudah meninggal dunia sebagai tersangka.
Ia mempertanyakan tahapan prosedur penetapan tersangka. Pasalnya, enam laskar tersebut tidak pernah menyandang status sebagai terlapor atau saksi oleh kepolisian.
“Nah sekarang sebelum mereka meninggal, mereka tak punya status apapun. Mereka bukan status tersangka, status saksi, terlapor. Mereka dibunuh dan ditetapkan sebagai tersangka. Ini luar biasa. Itu ilmu dari mana?” kata Abdullah, Kamis (4/3/2021).
Mantan penasihat KPK itu menambahkan dalam KUHP mengatur kewenangan bahwa penuntutan pidana akan otomatis gugur jika tertuduh meninggal dunia. Seharusnya aparat hukum mengetahui aturan tersebut.
“Mungkin karena Indonesia ini sudah enggak masuk negara di bumi, tapi masuk di negara di antariksa, jadi kalau di antariksa beda sama di Indonesia. Kalau KUHP-nya antariksa beda dengan KUHP-nya di Indonesia,” ungkap Abdullah.
Lebih lanjut, Abdullah mengaku baru pertama kali menemukan ada kasus orang yang sudah meninggal masih ditetapkan sebagai tersangka. “Bagaimanapun saya pernah belajar hukum, ini baru pertama kali saya temukan,” katanya.
Menurutnya, TP3 akan terus memberikan advokasi kepada keluarga korban enam laskar yang meninggal. Ia juga berencana membuat “buku putih” yang menjelaskan data-data dan fakta sebenarnya dalam kasus pembunuhan enam laskar FPI tersebut.
“Jadi TP3 hanya melakukan advokasi kepada keluarga korban agar mereka tidak diteror, tak disuap, tak disogok, tak diintimidasi, itu saja TP3 lakukan,” pungkasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Ia menyatakan penetapan enam almarhum laskar FPI sebagai tersangka oleh pihak kepolisian bertentangan dengan aturan yang tertuang dalam KUHP.
Ia menjelaskan Pasal 77 KUHP menyebutkan kewenangan menuntut pidana gugur jika tertuduh meninggal dunia.
“Bertentangan dengan KUHP, karena kematian atau meninggalnya seseorang menjadi alasan gugurnya atau menutup hak untuk menetapkan orang sebagai pelaku kejahatan atau pelaku pelanggaran hukum. Salah satunya meninggalnya si tersangka atau seseorang yang akan ditersangkakan,” kata Fickar.
Ia menilai polisi sangat berlebihan saat menetapkan orang yang sudah meninggal sebagai tersangka. Menurutnya, penetapan tersangka atau proses penuntutan terhadap seseorang bisa sah dan dapat berjalan saat orang yang bersangkutan masih hidup.
“Intinya penuntutannya harus ada orangnya. Kalau enggak ada dan menetapkan mayat itu artinya apa? Lucu itu, berlebihan dan ngelak,” ujar Fickar.
Melihat hal itu, Fickar menegaskan seharusnya pihak kepolisian menghentikan semua proses penyidikan terhadap enam laskar FPI yang sudah meninggal. Sebab, hal itu tak ada dasar hukumnya dalam ranah hukum pidana.
Ia lantas menyarankan kepada pihak kepolisian melanjutkan hasil rekomendasi Komnas HAM untuk mengusut anggotanya yang menyebabkan kematian enam laskar tersebut. “Kalau yang sudah meninggal enggak ada manfaatnya ditetapkan sebagai tersangka dan ngaco dasar hukumnya. Berlebihan,” pungkasnya. [wip]