ISLAMTODAY ID — Pembangunan proyek Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) di situs sejarah Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh hingga kini masih menuai polemik.
Polemik ini kembali mencuat pasca Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman mengirimkan surat rekomendasi kepada Kementerian Perumahan Rakyat dan Pekerjaan Umum (PUPR). Untuk meredam polemik yang ada walikota diminta untuk kembali berkirim surat yang isinya membatalkan rekomendasi.
“Pak walikota bisa menyurati kembali Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia untuk membatalkan surat dukungan sebelumnya dan mencari lahan lain,” kata senator DPD RI asal Aceh, Fadhil Rachmi, Rabu (2/3/2021).
“Saya sendiri juga akan mengirim surat ke kementerian yang sama agar proyek IPAL dialihkan ke lahan lain yang lebih strategis serta tidak terganggu dengan cagar budaya,” ujarnya.
Fadhil menuturkan sudah semestinya kawasan yang diyakini sebagai cagar budaya tersebut bisa dijaga. Meskipun kawasan tersebut bukan merupakan makam seorang raja sekalipun. Sepertinya layaknya sebuah kawasan sejarah sudah semestinya Gampong Pande tidak dirusak.
“Tak semestinya peninggalan sejarah di Gampong Pande dirusak serta dibangun proyek pengelolaan limbah,” tutur Fadhil.
Ia menambahkan meskipun bukan kawasan kuburan raja, kandungan historis Gampong Pande sangat penting keberadaannya. Terutama untuk melengkapi catatan dan informasi sejarah yang selama ini masih kurang.
“Ya, bisa jadi bukan kuburan raja, tapi di kawasan tersebut dalam catatan sejarah penuh dengan kandungan historis yang sangat penting untuk melengkapi informasi yang masih kurang dalam uraian sejarah kerajaan Aceh,” ungkap Fadhil.
Ia mengatakan sebagai bangsa yang besar sudah selayaknya untuk ikut serta melestarikan peninggalan leluhur. Keberadaan proyek pembuangan tinja di atas tanah makam leluhur pun tak bisa dibiarkan.
“Kita semestinya tetap melestarikan peninggalan leluhur. Tak seharusnya proyek tinja itu dibangun di atas makam leluhur,” ujar Fadhil.
“Masih banyak lahan kosong lainnya yang bisa digunakan tak meski di Gampong Pande. Itu solusinya,” imbuhnya.
Fadhil pun mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk membangun Gampong Pande sebagai kawasan wisata sejarah. Kawasan tersebut bisa didirikan sebuah monumen, selain itu ia juga berharap pemerintah bisa memugar kawasan Gampong Pande.
Faktor Penghambat Status Cagar Budaya
Sementara itu Wakil Komisi X DPR, Abdullah Fikri Faqih melalui keterangan tertulisnya mengatakan bahwa ketiadaan payung hukum Pemko Banda Aceh menjadi penyebab mengapa perlindungan situs sejarah yang ada belum maksimal. Tidak adanya qanun membuat perlindungan cagar budaya di sana secara teknis menjadi sulit dilakukan.
“Tidak adanya Peraturan pelaksana dan Qanun tentang cagar budaya membuat pemerintah kota kesulitan secara tehknis melakukan perlindungan cagar budaya,” ujar Fikri.
Fikri menjelaskan pula adanya faktor lain yang memicu kurang maksimalnya perlindungan cagar budaya di Banda Aceh. Salah satunya belum adanya tenaga ahli di bidang kepurbakalaan di Kota Banda Aceh.
“Tidak ada sumber daya manusia dibidang kepurbakalaan ditingkat Dinas Kabupaten Kota sehingga proses untuk menetapkan Cagar Budaya di Lokasi IPAL menjadi lama,” imbuhnya.
Ia menambahkan berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh undang-undang (UU) No.11/2010 tentang Cagar Budaya, penetapan cagar budaya sangat bergantung pada rekomendasi tim ahli cagar budaya (TACB). Pemko Banda Aceh sedang mengupayakan untuk mengumpulkan ahli-ahli ke dalam TACB Banda Aceh yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.
“Terbaginya ahli ke Dinas Provinsi dan Kota dengan jumlah ahli yang masih kurang menjadi hambatan pembentukan Tim (TACB),” jelasnya.
Berikut ini hal-hal terkait penetapan status cagar budaya sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Berdasarkan UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya
Pasal 33
(1) Bupati/wali kota mengeluarkan penetapan status Cagar Budaya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah rekomendasi diterima dari Tim Ahli Cagar Budaya yang menyatakan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis yang didaftarkan layak sebagai Cagar Budaya.
(2) Setelah tercatat dalam Register Nasional Cagar Budaya, pemilik Cagar Budaya berhak memperoleh jaminan hukum berupa: a. surat keterangan status Cagar Budaya; dan b. surat keterangan kepemilikan berdasarkan bukti yang sah.
Pasal 35
Pemerintah kabupaten/kota menyampaikan hasil penetapan kepada pemerintah provinsi dan selanjutnya diteruskan kepada Pemerintah.
Pasal 36
Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa Indonesia sebagaimana dalam Pasal 11 dapat ditetapkan sebagai Cagar Budaya dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Gubernur setelah memperoleh rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya sesuai dengan tingkatannya.
Penulis: Kukuh Subekti