(IslamToday ID) – Pengacara senior yang juga ahli hukum pidana, Muhammad Taufiq angkat bicara terkait penangkapan terhadap warga Slawi berinisial AM oleh Virtual Police Polresta Surakarta. AM dituduh telah menyebar hoaks soal Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka.
Taufiq mengatakan penangkapan terhadap AM merupakan kesalahan sebab tidak sesuai dengan praktik hukum acara pidana. Menurutnya, dalam sebuah praktik hukum acara pidana dikenal locus delicti dan tempus delicti.
Locus delicti adalah kejahatan menyangkut tempat atau wilayah. Sedangkan tempus delicti adalah waktu kejadian praktik pidana tersebut.
“Kalau lihat locus-nya itu ada di mana? Tegal ya tidak bisa, polisi kan punya yurisdiksi. Oleh karena itu kenapa ada jabatan Kapolresta-Kapolres. Kapolres berarti (tingkat) kabupaten, Resta itu berarti Kepolisian Resor Kota (Polresta) itu kan sudah menunjukkan yurisdiksinya. Jadi saya tidak mengerti itu (penangkapan), kebablasan menurut saya. Mengambil orang yang tidak berada di wilayah hukumnya,” katanya, Selasa (16/3/2021).
Setelah ditangkap, seperti diketahui AM diminta untuk menghapus komentarnya dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka melalui akun resmi Instagram Polresta Surakarta @PolrestaSurakarta.
Taufiq menilai kepolisian tidak memahami adanya Surat Edaran (SE) Kapolri No 2/11/2021 tertanggal 25 Februari 2021.
“Yang dimaksudkan restorative justice itu bukan orang ditangkap kemudian minta maaf. Restorative justice itu tidak ada pemidanaan, kalau orang ditangkap kemudian disuruh minta maaf itu sudah dipidana namanya,” jelasnya.
Menurutnya, Virtual Police seharusnya tidak menakuti masyarakat dan membuat masyarakat takut berekspresi kembali.
“Lagian sebagai ahli pidana, kalau ditelisik kalimatnya itu dia mengomentari dapat jabatan dari ayahnya, nggak ada yang salah itu. Kecuali dia (AM) bilang bahwa dia (Gibran) dapat jabatan itu karena nyogok, karena menguasai KPU menguasai Bawaslu, nah itu baru mungkin ada unsur pidananya,” ucapnya.
Menurut Taufiq, kepolisian seharusnya memberikan sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu dan tidak langsung menangkap.
“Mestinya memberi tahu, hei jangan posting begitulah itu nggak benar. Kamu nanti bisa diancam pidana UU ITE khususnya pasal 28 ayat 3, mestinya begitu kalimatnya. Bukan tiba-tiba ini ditangkap kemudian disuruh minta maaf, direkam, dan disebarkan. Itu malah jadi masalah baru. Restorative justice itu bukan begitu,” jelas Taufiq.
“Lagian, maaf-maaf ya pejabat negara sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006 pasal 134 tentang penghinaan terhadap pejabat negara itu sudah dihapus. Konsekuensi hukumnya apa kalau dihapus? Berarti menjadi delik aduan. Delik aduan tuh nggak bisa polisi, tentara, atau siapa pun wakil negara menangkap. Harus yang bersangkutan yang membuat pengaduan, namanya pengaduan bukan laporan pidana,” bebernya. [Kanzun Dinan/wip]