ISLAMTODAY ID — Menanggapi kasus yang belum lama ini terjadi di kalangan universitas, dimana dalam kasus tersebut terjadi sebuah represifitas yaitu penyampaian kritik berujung DO (drop out). Penyampaian kritik tersebut berakhir tragis menjadi suatu fenomena yang menakutkan.
Pada awal tahun 2021 tiga mahasiswa yang berasal dari Universitas Lancang Kuning (Unilak), Pekanbaru, diberhentikan alias DO dari kampus. Mereka menilai kampus tidak terima dengan kritik yang mereka suarakan.
Rektor Unilak Pekanbaru menerbitkan surat pemberhentian studi untuk tiga mahasiswanya pada 18 Februari 2021 lalu. Ketiga mahasiwa tersebut adalah Cep Permana Galih, George Tirta Prasetyo, Cornelius Laia.
Menanggapi hal itu, Muhammad Faizurrahman, Aktifis HMI Komisariat Muhammad Iqbal UNS menilai peristiwa tersebut merupakan bentuk Represifitas perguruan tinggi atas suatu aktivitas akademik yang dilakukan oleh mahasiswa untuk mengkritik bentuk-bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan etika.
“Saya pikir jelas ya soal DO ini, ini sekian kalinya bentuk Represifitas kampus atas mimbar kebebasan akademik, atas suatu aktivitas akademik yang dilakukan oleh mahasiswa dalam kegiatan diluar maupun di dalam organisasi untuk mengkritik bentuk-bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan etika” pungkasnya, Sabtu (13/3/2021).
Tindakan Represif Ancam Kebebasan Akademik
Jika melihat dari kronologi yang diungkapkan langsung dari korban, pemberhentian korban, George dikarenakan adanya aksi sejak 2020. Dia bersama mahasiswa lainnya meminta penjelasan rektor terkait skripsi yang dijual, penebangan pohon ilegal, dan Rektor Unilak Junidi yang dinilai mengintervensi organisasi mahasiswa.
George juga mengaku dijemput polisi pada 17 Februari 2021. Saat itu, dia dan mahasiswa tengah menggelar aksi protes di halaman gedung rektorat dan ruang Rektor Junaidi. Bersama dua rekannya, George mengaku kaget menerima surat pemberhentian dari rektor. Surat ditandatangani pada 18 Februari lalu, yang disebutnya tidak ada dasar atau alasan pasti.
Bagi Faizurahman, keputusan rektor tersebut malah merugikan kebebasan akademik di perguruan tinggi. Padahal secara hukum kebebasan akademik diatur dalam UU No.12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.
“Ya bagi saya ini merupakan tindakan Represif dari kampus yang sangat merugikan kebebasan akademik, yang dijamin oleh UU perguruan tinggi uu no 12/2012 itu sangat dijamin kan kebebasan akademik. Dan fenomena DO ini sangat buruk untuk kampus dan akademik.” ujarnya.
Ia juga mengatakan hingga saat ini belum ada penyelesaian dari kampus, SK (Surat Keputusan) DO yang diterima ketiga mahasiswa tersebut masih belum dicabut.
Buka Ruang Dialog
Agar hal tersebut tak terulang kembali, menurut sudut pandang Izul yang harus dilakukan oleh Rektor adalah membuka ruang diskusi. Menurutnya, jabatan rektor adalah jabatan publik yang memang pertanggungjawabannya ada pada publik terutama kepada mahasiswa dan civitas akademika kampus. Dengan membuka ruang dialog dengan pihak yang berkepentingan, diharapkan akan menghasilkan kebijakan kebijakan yang tidak merugikan salah satu pihak.
“Jadi apa yang dilakukan oleh teman-teman bem UNILAK juga bukan merupakan satu tindakan yang harus diakhiri dengan hukuman baik itu DO maupun hukuman lain” jelasnya.
Menurutnya, rektor Unilak seharusnya membuka ruang diskusi dan menerima kritik serta mau mendengarkan isu-isu yang terjadi wilayah universitas.
“Dan sama-sama diterima, kritik itu diterima, diajak berdialog apa yang mau disampaikan teman-teman mahasiswa atas kajiannya atau fenomena di kampus ,yaudah kemudian dibenahi kalo misalkan caranya sepihak, represif, DO, terus pemanggilan SK, SP, ancaman secara lisan sampai DO paling buruk, itukan berarti menutup ruang-ruang dialog terhadap seluruh civitas akademika di kampus tersebut”, tandasnya.
Reporter : Kanzun Dinan