(IslamToday ID) – Terdakwa inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan dituntut maksimal oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan hukuman penjara selama enam tahun.
Jaksa Syahnan Tanjung menyatakan, Syahganda Nainggolan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menyiarkan berita bohong atau hoaks yang menciptakan keonaran dalam postingan dan kicauannya di akun Twitter pribadinya, @syahganda.
“Menyatakan terdakwa Syahaganda Nainggolan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menyiarkan berita bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran,” ujar Jaksa Syahnan Tanjung dalam sidang, Kamis (1/4/2021) seperti dikutip dari RMOL.
“Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 14 ayat 1 UU No 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana dalam dakwaan pertama penuntut umum,” sambungnya.
Karena itu, lanjut Syahnan, JPU menjatuhkan pidana penjara selama enam tahun kepada Syahganda Nainggolan.
“Dikurangi selama terdakwa berada di dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan,” tuturnya.
Dalam pertimbangannya, jaksa menilai postingan Syahganda yang menimbulkan keonaran itu dilakukan sebanyak lima kali secara berkala. Yaitu mulai tanggal 12 September hingga yang terakhir 10 Oktober 2020.
Postingan Syahganda yang terakhir pada tanggal 10 Oktober 2020 menjadi satu yang dipersoalkan JPU. Karena di dalamnya Syahganda menyatakan akan ikut turun aksi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
“Bahwa tulisan terdakwa yang kelima kalinya pada caption akun Twitter @syahganda, tanggal 10 Oktober 2020 mempertanyakan ‘Ini Benar ya ada aksi?’ Selanjutnya, terdakwa mengatakan ‘Saya mau ikut aksi Selasa 13 Oktober di Bundaran HI (Hotel Indonesia),” ungkap Syahnan.
Atas cuitan tersebut, JPU menilai Syahganda telah menghasut kawan-kawan buruh PPMI98, serikat buruh, mahasiswa berjaket biru dan berjaket almamater kuning, serta terlibatnya anak-anak SMA hingga SMK dan masyarakat melakukan protes atau demonstrasi yang menyebabkan anarkis dan kerusakan yang terjadi di Jakarta.
Dasar penuntutan ini, kata Syahnan, juga merupakan fakta persidangan yang bersumber dari keterangan lima orang saksi dan tujuh orang saksi ahli yang dihadirkan JPU, serta empat orang saksi ahli yang dihadirkan pihak penasihat hukum Syahganda Nainggolan.
Dalam kasus ini, mulanya Syahganda Nainggolan dianggap melanggar Pasal 28 UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) oleh kepolisian dalam proses penyidikan.
Namun dalam persidangan, JPU mendakwa Syahganda dengan pasal berlapis yang terkait dengan penghasutan yang menciptakan keonaran.
Penuh Konspirasi
Sementara, tuntutan tersebut kontan dianggap tidak adil oleh Komite Eksekutif KAMI, Gde Siriana Yusuf.
“Patut diduga pengadilan penuh dengan konspirasi. Tuntutannya sangat berat tidak sebanding perbuatan terdakwa. Sejak dakwaannya tidak menggunakan UU ITE, meski alasan penangkapannya akibat twit SN, terlihat bahwa hukuman berat sudah disiapkan,” kata Gde Siriana.
“Tuntutannya pun lemah karena SN hanya menggunakan haknya sebagai warga negara untuk mengkritik pemerintah,” tambahnya.
Apalagi, lanjut Gde Siriana, SN tidak pernah dihadirkan langsung di dalam sidang meski sudah berkali-kali protes. Padahal, Habib Rizieq Shihab (HRS) akhirnya dihadirkan di pengadilan setelah melakukan protes.
“UU Omnibus disahkan 5 Oktober 2020. Beberapa twit SN tentang UU Omnibus Law sudah ada jauh sebelum UU disahkan. Artinya, dalam proses pembuatan UU, adalah hak masyarakat untuk mengkritisi dan memberi masukan pada pemerintah,” terang Gde Siriana.
Lebih lanjut, Gde Siriana juga menerangkan bahwa SN ditangkap pada 13 Oktober. Sesudah SN ditangkap, demo menentang UU Omnibus Law masih tetap ada. Artinya, aksi unjuk rasa itu bentuk kesadaran publik untuk menolak UU Omnibus Law, bukan karena digerakkan SN.
“Sepertinya tuntutan jaksa hanya copy paste dakwaan. Bukti-bukti dan saksi yang meringankan tidak berpengaruh dalam tuntutan jaksa. Ini kezaliman, karena menyangkut hidup dan masa depan warna negara,” pungkasnya. [wip]