(IslamToday ID) – Mantan Menteri ESDM Sudirman Said blak-blakan soal kisah di balik kehebohan skandal kontrak PT Freeport Indonesia saat ia menjabat. Saat itu Sudirman mengaku membongkar skandal “papa minta saham”.
Skandal tersebut ikut menyeret Ketua DPR saat itu Setya Novanto. Sudirman sampai harus melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR karena keterlibatan pria yang juga pernah memimpin Partai Golkar tersebut.
Sudirman mengadukan Setya Novanto ke MKD DPR lantaran diduga mencatut nama Presiden Jokowi untuk meminta saham terkait dengan perpanjangan kontrak PT Freeport.
Sudirman mengatakan langkahnya mengadukan Setya Novanto adalah wujud menjalankan tugas, tepatnya tugas untuk memberantas mafia di sektor migas. Langkahnya melaporkan kasus itu juga sudah mendapat persetujuan Presiden Jokowi sebagai atasannya.
“Misi dari presiden mengatakan selesaikan mafia. Ketika kasus itu muncul, saya tidak ada hal yang luar biasa karena hanya melaksanakan tugas. Kemudian ada jiwa aktivis saya. Kira-kira saya ini tidak punya apa-apa ingin memberantas korupsi saja,” kisah Sudirman seperti dikutip dari Detik, Senin (26/4/2021).
Ia mengakui pelaporannya mengenai skandal “papa minta saham” itu banyak menuai kritik. Sebagian menilai tidak pas sebagai menteri melaporkan pejabat negara lainnya.
Namun, ia menegaskan langkahnya merupakan kewajiban sebagai pejabat publik yang mengetahui adanya penyimpangan yang merusak negara. Ia mengakui hal itu juga sebagian dari bentuk idealismenya.
“Kenapa harus melakukan hal seperti itu, saya berpikirnya itu idealisme. Ketika bercampur dengan otoritas untuk apa kalau tidak digunakan untuk menertibkan hal-hal yang merusak negara. Banyak orang mengkritik aktivis masuk kekuasaan kok jadi melempem,” ungkap Sudirman.
“Ini bukan karena saya tidak ingin dianggap tidak melempem, tapi saya kira memang itu kewajiban kita,” lanjutnya.
Sudirman juga sempat bercerita awal mula ditunjuk Jokowi untuk mengisi posisi menteri. Kala itu, Sudirman dipanggil ke Istana untuk membicarakan mengenai isu migas dan listrik.
Dalam pertemuan itu, Sudirman ternyata digadang-gadang menjadi calon Menteri ESDM. Memberantas mafia disebut Sudirman menjadi tugas utamanya.
“Beliau menjelaskan soal-soal mafia migas, listrik, soal kilang, dan saya mengatakan ke beliau, ‘Pak Presiden saya belum lama di energi, mungkin 10 tahun’. Itu pun tidak dalam area teknis. Tapi saya yakin akan banyak teman-teman yang bisa membantu karena buat saya urusan energi bukan soal teknis, tapi soal kelurusan pemimpin negara,” katanya.
Catut Nama Jokowi
Soal Freeport memang pernah menghangat, terutama setelah Setya Novanto ketahuan menggadang janji bisa memperpanjang kontrak perusahaan Amerika Serikat (AS) itu.
Freeport memang sedang resah karena kontrak itu berakhir pada 2021. Mereka ingin perpanjangan sekarang agar investasi besarnya ada kepastian. Setya Novanto melihat peluang ini dengan mencatut nama Presiden Jokowi menawarkan pembaruan kontrak penambangan tembaga di Papua itu.
Ketika itu nilai saham Freeport sedang jatuh karena jadi bulan-bulanan berita miring. Selamat dari perebutan yang memalukan atas tambang emas palsu di Busang pada 1997, raksasa pertambangan yang bermarkas di New Orleans itu memang belum berhenti menjadi bulan-bulanan berita miring.
Yang pertama ketika Soeharto, pendukung setianya, jatuh pada Mei 1998. Beberapa bulan kemudian, koran terkemuka Amerika, The Wall Street Journal, dan Jeffrey Winters menghebohkan kontrak karyanya yang diduga sarat kolusi. Freeport datang sebagai perusahaan asing pertama yang masuk ke Indonesia setelah rezim Orde Baru membuka peluang bagi investasi asing pada 1967.
Proyek Freeport, yang semula hanya merupakan penambangan tembaga di Pegunungan Erstberg, telah memoles citra Indonesia sebagai “lahan baru” yang menggiurkan bagi investasi asing kala itu. Pengusaha Eropa dan Jepang belakangan mengalir ke sini, menyumbangkan pertumbuhan ekonomi yang gemerlap pada masa Orde Baru.
Lebih gemerlap lagi bagi Freeport sendiri. Hanya dua tahun setelah berproduksi, pada 1973, Freeport berhasil mengantongi perolehan bersih 60 juta dolar AS dari tembaga yang ditambangnya.
Dan, mujur bagi Freeport, pada 1988, yakni 18 tahun sebelum sewa tambangnya usai, perusahaan itu menemukan Grasberg (timbunan emas, perak, dan tembaga senilai 60 miliar dolar AS) tak jauh dari lokasi penambangan semula. Dan hal itu mendatangkan rezeki sekitar 1,8 miliar dolar AS untuk perusahaan tersebut setiap tahun.
Pada 1991, Freeport memperbarui kontrak karyanya untuk hak penambangan 30 tahun, dengan kemungkinan diperpanjang 20 tahun sesudahnya. Kontrak karya ini dinilai banyak orang mengandung sejumlah misteri berkaitan dengan lingkungan terdekat Soeharto serta menyinggung nama Ginandjar Kartasasmita (lihat Tempo, 26 Oktober 1998).
Dengan begitu besar “harta karun” yang dipertaruhkan, tak aneh jika Freeport hampir senantiasa berada di pusat sorotan. Selama bertahun-tahun para pengecamnya mengambil Freeport sebagai contoh bagi neokolonialisme gaya baru.
Dengan menambang 125.000 ton bijih mineral tiap hari, belakangan ditingkatkan menjadi 190.000 ton per hari, dampak lingkungan yang ditimbulkannya akan sulit disembunyikan.
Kerusakan Lingkungan Luas
Freeport hampir secara harfiah mengubah Grasberg menjadi butiran debu dan mengirimkan limbah penambangannya (tailing) ke Danau Wanagon dan Sungai Ajikwa, yang bermuara di Laut Arafura. Sekitar 40 juta ton tailing disemburkannya setiap tahun.
Pada 1994-1996, setidaknya ada satu laporan yang menuding Freeport telah melakukan kerusakan lingkungan luas, dua laporan tentang pelanggaran hak asasi oleh militer Indonesia (pemerintah Indonesia menguasai 10 persen saham serta Nusamba milik Bob Hasan dan yayasan-yayasan Soeharto menguasai 4,7 persen saham Freeport), dan empat laporan mempertanyakan peran Freeport dalam membantu represi oleh militer.
Wall Street Journal menyinggung kaitan Freeport dengan pejabat Indonesia di bawah kacamata Foreign Corrupt Practices Act, peraturan Amerika yang mengharamkan perusahaan negeri itu menyuap pejabat pemerintah asing.
Freeport mengatakan “tak ada rahasia bahwa Mr Moffett (Presiden Direktur Freeport James Moffett) dan Mr Soeharto adalah teman”, tapi menegaskan pula bahwa pihaknya telah beberapa kali menolak permintaan imbalan yang diajukan para pejabat korup Indonesia.
Pada akhir Oktober 1995, Overseas Private Investment Corporation (OPIC) membatalkan polis asuransi senilai 100 juta dolar AS karena perluasan proyek Freeport telah menyebabkan dampak lingkungan yang membahayakan.
Sejumlah politikus dan akademisi Amerika segera berada di sisi Freeport untuk membelanya. Belakangan, OPIC takluk dengan meneruskan polis asuransi tadi.
Dan sejauh ini tak ada langkah hukum yang membahayakan Freeport. Perusahaan itu terlalu digdaya untuk digoyang oleh kritik dan bahkan tuntutan hukum. [wip]