(IslamToday ID) – Meski sebagian besar gugatan revisi UU KPK ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), namun ada sebagian gugatan uji materiil yang dikabulkan. Poin yang dikabulkan MK adalah bahwa KPK tidak perlu izin Dewan Pengawas dalam melakukan penggeledahan, penyadapan, dan penyitaan.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata hakim Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/5/2021).
Kewenangan Dewan Pengawas dalam memberikan izin tertuang dalam Pasal 12C ayat 2, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) UU No 19 Tahun 2019. Hakim pun menyebutkan ketiga pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keputusan MK itu ditetapkan lantaran Dewan Pengawas bukan aparat penegak hukum. Hakim Aswanto pun menilai izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan merupakan bentuk campur tangan terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegak hukum.
Lebih dari itu, izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan merupakan bentuk nyata tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum.
“Mahkamah menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawasan,” kata Aswanto. Meski begitu, pimpinan KPK tetap memberitahukan penyadapan kepada Dewan Pengawas.
Izin dari Dewan Pengawas untuk penggeledahan atau penyitaan dianggap tidak tepat. Sebab, kewenangan pemberian izin tersebut merupakan bagian dari tindakan yudisial. Dengan demikian, frasa terkait izin tertulis dari Dewan Pengawas harus dimaknai menjadi memberitahukan kepada Dewan Pengawas.
Gugatan uji materiil itu diajukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid bersama dengan empat orang lainnya. Dalam gugatannya, Fathul dkk menilai penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan merupakan tindakan pro justicia, sehingga tidak tepat jika kewenangan untuk memberikan izin diberikan kepada Dewan Pengawas.
Fathul dkk memperkirakan keputusan yang dihasilkan Dewan Pengawas kemungkinan tidak independen. “Sebagai contoh, bagaimana jika yang ingin disadap oleh KPK adalah ketua atau anggota Dewan Pengawas sendiri, istri/suami atau bahkan keluarganya?” demikian dalil yang disampaikan.
Dissenting Opinion
Hakim MK Wahiduddin Adams menjadi satu-satunya yang menyatakan dissenting opinion dalam putusan uji formil UU KPK.
Ketika semua hakim menolak gugatan mengenai proses revisi UU itu, Wahiduddin menyatakan proses revisi UU No 19 Tahun 2019 itu dilakukan dalam waktu singkat dan secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.
“Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum yang spesifik,” kata Wahiduddin membacakan pandangannya.
Berikut ini pernyataan Wahiduddin dalam sidang mengenai gugatan yang diajukan oleh mantan Ketua KPK Agus Rahardjo dan kawan-kawan itu:
- Menyoroti Pilpres
Wahiduddin menyoroti singkatnya waktu yang digunakan oleh pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK. Ia mengatakan revisi juga dilakukan bertepatan dengan momentum spesifik, yaitu di masa Pilpres dan Pileg 2019.
Revisi UU KPK lantas disahkan presiden menjadi UU beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR periode 2014-2019 dan beberapa pekan menjelang berakhirnya pemerintahan presiden pada periode pertama.
Mantan Dirjen Perundang-undangan Kemenkumham ini mengatakan pembentukan UU yang dilakukan dalam jangka waktu relatif sangat singkat dan pada momentum spesifik yang mengundang pertanyaan besar, memang tak secara langsung menyebabkan UU itu inkonstitusional.
Namun ia mengatakan singkatnya pembentukan UU KPK ini jelas berpengaruh signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat dan berbagai supporting system yang ada di sisi presiden maupun DPR.
“Serta sangat minimnya kajian dampak analisis terhadap pihak yang akan melaksanakan undang-undang a quo, in casu KPK,” katanya.
- Masalah Konstitusi dan Moral
Wahiduddin menilai akumulasi dari kondisi di atas mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas UU KPK. Ia mengatakan, seluruh tahapan prosedural secara kasatmata memang telah ditempuh secara formil.
“Namun, yang sejatinya terjadi adalah hampir pada setiap tahapan prosedur pembentukan undang-undang a quo terdapat berbagai persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang cukup serius,” kata Wahiduddin.
- 24 Jam
Wahiduddin juga menyoroti sikap pemerintah yang diduga menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) atas RUU KPK hanya dalam waktu kurang dari 24 jam saja. Ia merujuk kronologi rapat kerja pertama pembahasan revisi UU KPK pada 12 September 2019 dan rapat panitia kerja pertama sehari setelahnya.
“Sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa DIM RUU ini disiapkan oleh presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam,” ujarnya.
Padahal, lanjut Wahiduddin, UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa pandangan dan pendapat presiden serta DIM dapat disampaikan kepada DPR dalam waktu paling lama 60 hari sejak RUU diterima presiden.
- Ijtihad Jalan Tengah
Wahiduddin mengatakan perbedaan pendapat yang diambil olehnya merupakan ijtihad menempuh koridor jalan tengah terbaik yang ia yakini.
“Saya berijtihad untuk menempuh koridor ‘jalan tengah terbaik’ yang saya yakini, yaitu menyatakan bahwa pembentukan undang-undang a quo bertentangan dengan UUD NRI 1945, sehingga undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Wahiduddin.
Ia mengatakan ada tiga opsi yang dipertimbangkan mengenai aspek formil dan materi UU KPK. Pertama, menolak seluruh permohonan; kedua, mengabulkan sebagian; dan ketiga, mengabulkan seluruh gugatan.
Ia lantas menjawab tak mungkin memilih opsi pertama, karena begitu terangnya pelanggaran konstitusi dalam revisi UU KPK. Sementara, opsi kedua dinilainya hanya akan menyebabkan pengaturan mengenai KPK dan pemberantasan korupsi semakin compang-camping.
Di sisi lain, MK dapat berpotensi dinilai tergelincir berubah fungsi melakukan legislatory on governing from the bench atau dicatat sejarah telah menjadi the judge as occasional legislator dalam bentuk yang paling ekstrem.
- Pilihan Wahiduddin
Wahiduddin mengatakan memilih opsi ketiga. Dengan memilih koridor ketiga, katanya, diharapkan dapat menyiratkan pesan kepada pembentuk undang-undang dan masyarakat bahwa secara materiil terdapat gagasan yang baik dan konstitusional terhadap KPK dalam UU a quo.
Ia mengatakan, jika dibentuk dengan prosedur yang lebih baik, diharapkan kelembagaan KPK juga menjadi lebih bagus ketimbang periode sebelumnya.
Yang terpenting, kata Wahiduddin, ialah bukti agar para pencari keadilan dan masyarakat percaya bahwa mekanisme pengujian formil di MK betul-betul ada dan bukan sekadar indah dalam cerita.
Ia mengatakan hal ini juga bisa menjadi instrumen penyeimbang bagi agresifnya kekuatan politik mayoritas di DPR dalam pembuatan UU. “Berdasarkan argumentasi sebagaimana diuraikan di atas, saya berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon,” katanya. [wip]