(IslamToday ID) – Pengamat politik Rocky Gerung turut bersuara terkait kabar bahwa Novel Baswedan tidak lolos dalam tes wawancara kebangsaan (TWK) sehingga terancam dipecat dari KPK.
Pernyataan Rocky itu disampaikan melalui video berjudul “Innalilahi Wainailaihi Rojiun, KPK Sudah Mati, Mari Kita Lupakan” yang disiarkan oleh Forum News Network (FNN), Kamis (6/5/2021).
Rocky menganggap kabar Novel tak lolos TWK adalah sebuah duka cita. Menurutnya, Novel merupakan sosok yang erat kaitannya dengan KPK dan beberapa kali terlibat dalam pemberantasan para pelaku korupsi. Dengan demikian, ia menyebut KPK tidak tewas karena Covid-19, melainkan stupid.
Pemaparan Rocky Gerung dipantik oleh Hersubeno Arief yang menyeret dua pemberitaan, yakni soal pertimbangan MK menolak permohonan uji formil UU KPK oleh Agus Rahardjo Cs dan isu Novel serta puluhan pegawain lain dipecat KPK.
“Duka cita itu. Tapi kita tahu bahwa KPK tewas bukan karena Covid-19, melainkan karena stupid,” terang Rocky.
Ia menegaskan, KPK tanpa Novel Baswedan bak pagi hari tanpa matahari. Sebab, menurutnya orang-orang akan selalu ingat siapa Novel Baswedan.
“Lagi-lagi berbagai macam alasan yang hendak diperlihatkan, saya akan pimpin di depan kata Jokowi. Sekarang KPK tanpa novel seperti pagi tanpa matahari. Gelap. Karena orang ingat, KPK siapa, ya Novel Baswedan yang selalu siap di depan,” katanya.
Rocky menambahkan, nama Novel Baswedan seringkali dibisik-bisikkan orang karena telah melakukan berbagai macam pengintaian. Tak pelak, ia menyebut Novel merupakan prestasi dan monumen KPK.
Oleh sebab itu, apabila Novel Baswedan hendak disingkirkan, maka menurutnya sama saja KPK hendak meruntuhkan monumennya sendiri.
Rocky lebih lanjut menyinggung peranan Novel Baswedan. Ia mengungkit aksi penyiraman air keras ke Novel Baswedan sampai membuat matanya terluka.
“Bahkan dia harus merelakan matanya hilang supaya negeri ini tidak buta terhadap korupsi. Sekarang KPK membutakan matanya sendiri. Jadi siapa lagi yang bisa memandang secara tajam tempat persembunyian para koruptor ini?” terangnya.
Rocky melanjutkan, kendati mata Novel Baswedan tidak dapat melihat dengan sempurna, tetapi akal dan nalurinya mampu mengetahui persembunyian para koruptor.
“Sekarang orang yang sangat peka dan punya pengetahuan rata-rata tentang korupsi itu disingkirkan. Inilah monumen dari kedunguan seperti yang saya sebutkan tadi. Jadi dia, KPK itu membunuh dirinya sendiri dengan kedunguan atau dibunuh dengan kedunguan. Kedunguan siapa? Ya kedunguan kekuasaan,” katanya.
Rocky kemudian menyinggung bahwa tes wawasan kebangsaan dituding menjegal langkah Novel Baswedan. Menurutnya, tes tersebut tak ubahnya seperti kamuflase kekuasaan yang dibuat bak sesuai prosedur saja.
Dengan begitu, Rocky mengaku tidak habis pikir kenapa orang seperti Novel Baswedan yang telah lama berada di KPK masih perlu untuk diuji.
“Selalu ada semacam persembunyian dari kekuasaan yang seolah-olah hendak diselundupkan supaya tak terlihat dengan mengatakan bahwa ‘ya itu kan melalui prosedur’. Prosedur apaan? Novel Baswedan berkali-kali sudah ada di situ, apalagi yang mesti dipertanyakan dengan Novel? Apa dia kurang setia pada NKRI? Apa dia kurang mampu mengintai, mengintip, dan membekuk koruptor? Jadi nggak jelas ini,” tegas Rocky.
“Hanya mungkin tidak bisa menjawab satu pertanyaan itu, kan. Atau Novel mungkin dengan fasih menjawab dengan kejujuran. Jadi kalau dia jawab dengan jujur, maka dia disingkirkan. Padahal pertanyaannya, pertanyaan yang tidak jujur kan,” pungkasnya.
Seperti Orde Baru
Terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menyebut tes wawancara kebangsaan (TWK) tidak boleh dijadikan dalih untuk menyingkirkan para pegawai KPK yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.
“Tes wawasan kebangsaan ini tidak boleh dijadikan dalih untuk menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang dianggap memiliki pandangan politik berbeda dari pemerintah,” ujar Usman, Rabu (5/5/2021) seperti dikutip dari Suara.com.
Hal tersebut dikatakan Usman menanggapi kabar penyidik senior KPK, Novel Baswedan dan puluhan pegawai KPK yang terancam dipecat dari KPK karena tak lolos dalam tes ASN pegawai KPK pada uji wawasan kebangsaan.
Usman menilai hal tersebut sama saja mundur ke era pra-reformasi. Di era tahun 1990, setiap pegawai negeri, kata Usman, harus melewati penelitian khusus (Litsus).
“Itu sama saja mundur ke era pra-reformasi, tepatnya pada 1990, ketika setiap pegawai negeri harus melalui ‘Litsus atau penelitian khusus’ atau ‘bersih lingkungan’ yang diskriminatif,” ucap Usman.
Tak hanya itu, ia menuturkan mendiskriminasi pekerja karena pemikiran dan keyakinan agama atau politik pribadinya jelas merupakan pelanggaran atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama, dan berkeyakinan.
Menurut Usman, diskriminasi tersebut sudah melanggar hak sipil dan merupakan stigma kelompok yang sewenang-wenang.
Ia mengatakan, menurut standar hak asasi manusia international maupun hukum di Indonesia, pekerja seharusnya dinilai berdasarkan kinerja dan kompetensinya, bukan “kemurnian” ideologisnya.
“Di masa lalu, Litsus semacam ini menimbulkan masalah ideologis atas pendidikan dan menjauhkan banyak orang yang memenuhi syarat sebagai pegawai negeri akibat kriteria yang tidak jelas dan diterapkan secara tidak merata. Mengapa hanya KPK? Ada apa?” tutur Usman.
Lebih lanjut, ia menegaskan screening ideologis yang diduga dilakukan melalui TWK seperti itu merupakan langkah mundur dalam penghormatan HAM di negara ini. Sekaligus mengingatkan kembali kepada represi Orde Baru.
“Screening ideologis yang diduga dilakukan melalui tes wawasan kebangsaan seperti ini sungguh merupakan langkah mundur dalam penghormatan HAM di negara ini, dan sekaligus mengingatkan kita kembali kepada represi Orde Baru, saat ada Litsus untuk mengucilkan orang-orang yang dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia,” katanya. [wip]