IslamToday ID –Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, pelemahan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sudah terjadi sejak tahun 2019.
Hal ini diungkapkan Kurnia menyusul adanya pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK). Menurutnya, tes wawasan kebangsaan merupakan salah satu cara pelemahan KPK.
Menurut Kurnia ada sutradara dibalik upaya pelemahan KPK. Dari pengamatannya, upaya pelemahan KPK dimulai ketika presiden Jokowi membentuk panitia seleksi ( pansel ) untuk memilih pimpinan KPK.
Pansel KPK ini dibentuk dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 54/P tahun 2019 tentang Pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Masa Jabatan Tahun 2019-2023.
“Saya selalu beranggapan bahwa ada salah satu sutradara pelemahan KPK ini. Kenapa? Kalau kita kita lihat senjakala KPK itu dimulai sejak 2019, kemarinn isu konkritnya ketika presiden membentuk panitia seleksi pimpinan KPK, kalau tidak salah itu april 2019.” ungkapnya , dalam tayangan kanal Youtube miliki Pukat UGM, Kamis (6/5/21)
Tanpa Partisipasi Publik
Kurnia menilai, dalam proses memilih pimpinan KPK, Presiden mempunyai privilige atau hak istimewa dibanding yang lainnya termasuk DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat). Presiden berhak memilih atau mem filter nama yang telah diajukan oleh pansel sebelum dikirim kepada parlemen.
Problemnya, dalam proses ini tidak ada masukan dari publik terkait pemilihan nama calon dari pimpinan KPK.
“Ketika pansel itu menyerahkan hasilnya ke presiden sebelum dilemparkan ke DPR ternyata tidak ada nilai demokrasi tidak ada partisipasi publik disana, rasanya presiden langsung mengiyakan hasil dari pansel yang penuh dgn problematika padatahun 2019 kmren.” tutur Kurnia
Tak hanya itu, revisi Undang-undang KPK minim partisipasi publik. Oleh sebab itu pengesahan revisi UU KPK disambut dengan unjuk rasa besar-besaran.
Aksi demonstrasi ini juga menelan banyak korban. Namun sayangnya, peristiwa itu tidak dimaknai sebagai sesuatu yang genting oleh presiden.
“Kajian catatan soal uu kpk ini sudah sangat sering disampaikan oleh temen-teman masyarakat sipil kampus, akademisi dan lain-lain, itu juga tidakk dipertimbangan baik oleh presiden”
Gimmick Presiden
Kunia juga menilai, Presiden Jokowi seolah-olah sengaja menciptakan image ‘tidak setuju terhadap revisi UU KPK’. Hal itu ditunjukan dengan sengaja tidak mendatangani revisi UU KPK. Menurut Kurnia Langkah itu hanya Gimmick agar masyarakat tak menyerang istana.
“Padahal jika dia ( presiden Jokowi ) tidak setuju, seharusnya melakukan perbaikan tapi sampai hari ini hampir 2 tahun UU KPK itu berlaku, ternyata tidak ada kemauan presiden mengubah substansi yang membuat dia tidak tandatangani UU tersebut. Berarti dia tidak tandatangani UU itu hanya gimmick saja, agar publik tidak terlalu menyerang istana saat itu.” pungkasnya.
Citra Anti Korupsi Presiden Runtuh
Pemerintah selalu memberikan narasi terkait kebijakan pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi juga selalu menyatakan pemberantasan korupsi tidak boleh padam.
Namun Kurnia melihat narasi ini tak beriringan dengan penindakan korupsi. Menurutnya, presiden mengesampingkan isu penindakan kasus korupsi.
“Kalau tidak salah dulu sempat ada kebijakan presiden; kalau seseorang melakukan tindak pidana korupsi dalam konteks ada pembangunan strategis, jika sudah mengembalikan kerugian negara maka tidak dapat, atau bisa tidak diproses hukum, padahal UU tipikor tidak bicara itu,” tutur Kurnia
Kunia juga menilai Presiden Jokowi lebih mementingkan kebijakan investasi, dibandingkan isu penegakan hukum. Menurut Kurnia ini sebenarnya membuat citra Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi turun.
“Di saat PR pemberantasan korupsi yang menumpuk, presiden Jokowi lebih memilih membuat regulasi untuk memudahkan investor. Jadi narasi-narasi UU ini memperkuat KPK, tapi ternyata faktanya hari ini narasi ini sudah tidak didengarkan lagi oleh publik. Publik pasti akan merekam jejak dari pemerintah yang selama ini bertolak belakang dari isu penguatan pemberantasan korupsi.” pungkasnnya
Penulis : Kanzun