(IslamToday ID) – Tes wawancara kebangsaan (TWK) sebagai alih status pegawai KPK menjadi ASN diyakini dilaksanakan tidak dengan adil. Hal itu diungkapkan oleh penyidik senior KPK Novel Baswedan, Selasa (11/5/2021).
Ia menduga TWK hanya digunakan sebagai cara untuk menyingkirkan sejumlah pegawai tertentu yang kritis.
Diketahui, sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos tes tersebut dan terancam diberhentikan. Novel termasuk satu di antaranya.
“Selain itu, saya tidak percaya (tes yang tak meloloskan) 75 pegawai KPK, termasuk saya yang katanya tidak lulus TWK, itu dilakukan dengan fair,” ujar Novel seperti dikutip dari CNN Indonesia.
“Karena semua pegawai tersebut adalah orang-orang yang kritis, menjadi teladan dalam integritas dan melaksanakan tugas-tugas penting di KPK. Saya justru menduga proses TWK hanya alat untuk menyingkirkan dan itu dilakukan terencana,” lanjutnya.
Novel menuturkan TWK bukan sebagai proses seleksi, sehingga tidak bisa dijadikan alasan untuk memberhentikan pegawai. Adapun soal-soal yang digunakan dalam proses TWK juga tidak bisa menggugurkan peserta atau pegawai.
“Status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana dimaksud dalam UU No 19/2019 hanya peralihan. Tidak ada syarat seleksi dan sebagainya,” imbuhnya.
Novel turut mengungkapkan sejumlah pertanyaan yang ditujukan kepadanya dalam menjalani TWK. Misal, terkait penanganan perkara korupsi.
“Kurang lebih begini, kalau jadi ASN lalu diintervensi pejabat ASN di luar KPK untuk tidak panggil saksi tertentu atau intervensi terkait dengan perkara bagaimana?”
“Saya katakan bahwa intervensi dalam penanganan perkara korupsi itu bisa kena delik menghalangi penyidikan sebagaimana dimaksud Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),” ujarnya menirukan jawabannya saat tes.
“Bila jadi ASN, maka terikat dengan Pasal 108 ayat 3 KUHAP, yaitu pegawai negeri yang dalam melaksanakan tugasnya mengetahui adanya kejahatan wajib melapor, maka respons saya bila ada intervensi penanganan perkara adalah melaporkan karena itu kewajiban.”
Novel pun menyindir bahwa barangkali jawaban seperti itu dianggap tidak berwawasan kebangsaan.
Kemudian, ia berujar juga ditanyai mengenai pendapat atas kebijakan pemerintah. Novel menyinggung beberapa perubahan UU yang menurutnya bertujuan untuk menguntungkan pihak tertentu. Ia tidak berbicara secara rinci UU apa saja yang dimaksud.
“Iya, beberapa hal mengenai perubahan UU kami di KPK, sebenarnya tahu siapa makelar yang atur itu, termasuk adanya dugaan pembagian uang kepada anggota DPR, tapi kadang sulit untuk buktikan. Kami juga tahu bahwa hal tersebut dilakukan untuk menguntungkan pihak tertentu (pemodal dibelakangnya).”
“Lalu kalau disuruh anggap bahwa perubahan UU tertentu itu adalah baik, artinya membohongi diri sendiri dong. Walaupun itu hanya sebagian UU, tentu tidak semuanya. Dan bisa jadi maksud pemerintah baik, tapi pemerintah adalah manusia yang bisa salah dan bisa disusupi oleh pihak yang punya kepentingan.”
“Itu jawaban logis dan sesuai fakta. Ketika hal seperti itu dianggap tidak berwawasan kebangsaan, saya kira itu kesimpulan yang sembrono,” pungkas Novel.
Sementara itu, mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas menyebut hasil uji tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk menjaring peralihan status pegawai KPK cacat moral akademik dan tidak perlu dilanjutkan.
“Bagaimana Presiden Jokowi yang menjadi atasan pimpinan KPK sekarang ini, bisa melakukan tindakan-tindakan konkret yaitu melakukan tindakan tegas terutama terhadap Ketua KPK agar menghentikan TWK dan stop sampai di sini. Jangan jadikan itu (tes TWK) sebagai pijakan karena isinya banyak mengandung problematika,” ungkap Busyro seperti dikutip dari video Republika TV.
Motif Hentikan Kasus Korupsi Besar
Sedangkan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencurigai pelaksanaan TWK bertujuan untuk memberhentikan paksa pegawai KPK bermotif penghentian kasus-kasus korupsi besar di lembaga antirasuah itu.
Kecurigaan itu, menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, disebabkan fakta bahwa sejumlah sosok dari 75 pegawai KPK yang tak lolos diketahui sedang menangani dugaan tindak pidana korupsi kelas kakap.
“Betapa tidak, di antara 75 pegawai itu terdapat para penyelidik dan penyidik yang diketahui sedang menangani perkara besar. Mulai dari korupsi bantuan sosial (bansos), suap benih lobster, skandal pajak dan KTP Elektronik,” ungkap Kurnia seperti dikutip dari Kompas.
Ia mengatakan jika 75 pegawai tersebut dipecat, besar kemungkinan pengungkapan perkara-perkara tersebut akan dihentikan. “ICW mempunyai keyakinan pasca-pemberhentian puluhan pegawai KPK tersebut, penanganan perkara-perkara besar akan berjalan lambat, bakal tidak menutup kemungkinan bakal dihentikan,” jelasnya.
Maka, lanjut Kurnia, ICW mendesak Ketua KPK Firli Bahuri untuk menganulir putusan hasil TWK itu. Jika tidak, ia menuding bahwa Firli sejak awal ingin menghambat penanganan perkara korupsi yang sedang dilakukan lembaga yang dipimpinnya.
“Ketua KPK Firli Bahuri harus segera menganulir keputusan hasil TWK kontroversi tersebut. Jika tidak maka dapat dipastikan Ketua KPK sejak awal memang ingin menghambat penanganan perkara besar yang telah diusut oleh para penyelidik maupun penyidik lembaga antirasuah,” pungkasnya. [wip]