(IslamToday ID) – Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang saat ini sebesar 10 persen menjadi 15 persen pada tahun 2022. Skema kenaikannya pun sedang dibahas.
Menanggapi itu, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim mengatakan kenaikan tarif PPN akan berdampak pada kenaikan harga barang yang otomatis semakin mahal.
“Kalau ada penyesuaian tarif atau kenaikan tarif dari 10 persen menjadi 15 persen, maka tentunya akan terjadi kenaikan harga barang,” kata Rizal dalam webinar bertajuk “PPN 15 Persen, Perlukah Di Masa Pandemi?” seperti dikutip dari Detikcom, Rabu (12/5/2021).
Berdasarkan UU No 42 Tahun 2009 tentang PPN, pada pasal 3 ayat 7 disebutkan bahwa tarif pajak dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Rizal menilai kenaikan PPN tidaklah tepat dilakukan. Pasalnya, kenaikan harga secara otomatis akan semakin menurunkan daya beli masyarakat yang tentunya akan memperlambat pemulihan ekonomi dalam negeri pasca pandemi Covid-19.
“Sebagai informasi PPN ini dibayarkan oleh konsumen, dibebankan kepada konsumen, maka harga barang itu akan semakin menekan daya beli yang sudah tertekan semakin tertekan lagi. Terjadi kenaikan inflasi yang sebetulnya semu. Ini akan menekan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Jika sudah begitu, penyerapan tenaga kerja otomatis akan menurun. “Utilisasi dan penjualan melemah, otomatis akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja, akan turun,” kata Peneliti Center of Industry Trade and Investment (CITI) INDEF, Ahmad Heri Firdaus.
Belum lagi berimbas ke pendapatan rumah tangga. “Kalau dari sisi rumah tangga pendapatan masyarakat ini turun hampir di semua kelompok rumah tangga baik desa dan kota, jadi tidak ada yang mengalami kenaikan satu pun,” imbuhnya.
Dari sisi industri, pasti akan memerlukan modal kerja tambahan yang semakin sulit diperoleh hingga menekan tingkat utilisasi industri. Atas dasar itulah kenaikan PPN disebut tidak akan memberikan manfaat baik untuk masyarakat maupun bagi pemerintah.
“Ujung-ujungnya penerimaannya bukan membaik, maka kita akan terjebak atau tersandera dalam situasi pelemahan ekonomi ini pasca pandemi,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad meminta rencana pemerintah menaikkan tarif PPN perlu dikaji ulang. “Kalau perlu dibatalkan karena memang sampai 2022 sekalipun bahkan 2023 kita masih dalam periode pemulihan ekonomi,” katanya.
Selain itu, ia menyebutkan bahwa belum ada satupun orang yang mengetahui kapan pandemi ini selesai. Dengan demikian, hal tersebut menjadi sesuatu yang kritis sehingga jangan sampai masyarakat justru dirugikan.
Tauhid menjelaskan, kenaikan tarif PPN otomatis akan membuat harga produk konsumsi termasuk impor semakin mahal. Dengan begitu, masyarakat akan mengurangi volume barang-barang yang dikonsumsi dan implikasinya penerimaan negara pun turun dari impor.
Saat ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sedang mengkaji dua skema yang akan dipakai dalam menentukan kenaikan tarif tersebut. Dua skema tersebut yakni single (tunggal) dan multi tarif. “Secara teoritis begitu, semua masih dalam kajian,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Neilmaldrin Noor seperti dikutip dari Katadata.co.id, Selasa (11/5/2021).
Tarif tunggal ini merupakan penerapan satu tarif PPN yang berlaku untuk semua objek PPN. Bila menggunakan skema ini, ketentuan tarif PPN berada di rentang 5-15 persen, sesuai UU No 46 Tahun 2009 tentang PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). “Tetapi masih dalam pembahasan terkait itu,” ujarnya.
Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menjelaskan munculnya rencana kenaikan PPN karena saat ini pemerintah membutuhkan pendanaan yang besar untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
“Belanja negara mengalami peningkatan karena kita memerlukan pengeluaran yang ditujukan untuk penyehatan masyarakat, menjaga masyarakat khususnya di sisi kesehatan. Kemudian yang kedua menjaga supaya ekonominya paling tidak bertahan,” kata Suryo. [wip]