(IslamToday ID) – Mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua turut bersuara terkait dengan tidak lulusnya 75 pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Menurut Abdullah, TWK itu tidak hanya janggal, tapi juga aneh bin ajaib. Karena sebagian besar dari 75 orang yang tidak lolos itu memiliki kapasitas luar biasa.
“Tes TWK itu bukan hanya janggal, tapi juga aneh bin ajaib. Orang-orang yang saya kenal itu orang-orang yang luar biasa. Itu Firli (Ketua KPK Firli Bahuri) kalau ikut TWK sama-sama dengan Novel (Novel Baswedan), itu pasti kalah (Firli). Dengan Giri (Giri Suprapdiono) saja kalah,” ungkapnya seperti dikutip dari “Catatan Demokrasi TVOne”, Jumat (14/5/2021).
Abdullah kemudian membeberkan perilaku Firli Bahuri ketika menjadi Deputi Penindakan di KPK. Saat itu Firli diadukan karena dianggap telah melakukan pelanggaran kode etik.
“Saya diundang oleh pengawas internal sebagai ahli untuk dimintai keterangan. Apakah yang dilakukan oleh Firli itu melanggar kode etik atau tidak? Sebelum saya diajukan pertanyaan ditayangkan videonya terlebih dahulu. Saya katakan itu bukan hanya pelanggaran kode etik, tapi juga pelanggaran pidana,” jelasnya.
Terkait peralihan pegawai KPK menjadi ASN, Abdullah menyatakan bahwa Komisi III DPR RI dengan pemerintah memiliki dua konsensus atau kesepakatan. Pertama, proses peralihan itu tidak boleh memberhentikan pegawai KPK.
Ia menyebut status nonaktif yang sudah disematkan pada 75 pegawai KPK tidak jauh beda dengan diberhentikan. “Antara nonaktif dengan pemberhentian apa bedanya? Itu sama saja. Itu kan prosedur, prosedur sebentar nanti kemudian dikeluarkan, nonaktif itu tahapan administrasi, kemudian prosesnya keluar SK dan seterusnya,” jelas Abdullah.
Konsesi kedua yaitu penghasilan atau gaji tidak boleh diturunkan dari apa yang sudah mereka peroleh saat ini. Jadi kalau ASN tentu kan gajinya berbeda, sehingga bagaimana caranya penghasilan pegawai KPK itu tiddak berkurang. “Karena kenapa, salah satu penyebab terjadinya korupsi yang melanda sebagian besar PNS atau ASN itu karena penghasilan yang rendah,” ujar Abdullah.
Ia kemudian menyarankan untuk 75 orang yang tidak lulus TWK dan sudah dinonaktifkan untuk menempuh jalur hukum melalui PTUN. “Saya pikir orang-orang yang mengajukan tes wawancara kebangsaan itu tidak mengerti Pancasila, misalnya sampai menanyakan tentang jilbab. Ia tidak mengerti pasal 29 ayat 1 UUD 1945,” ujarnya.
“Saya pernah menjadi pansel (panitia seleksi) pimpinan KPK, saya pernah menjadi pansel eselon I di Kementerian Hukum dan HAM, tidak pernah saya temukan pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh seperti itu.”
Korupsi Kejahatan Luar Biasa
Abdullah bercerita bahwa satu-satunya kementerian atau lembaga negara yang memiliki PP khusus tentang manajemen SDM adalah KPK, yakni PP No 63/2005. PP ini mengatur soal manajemen SDM, bagaimana proses perencanaan SDM-nya, bagaimana proses rekrutmen dan seleksinya, bagaimana proses diklatnya, bagaimana proses pimpinan SDM-nya, dan bagaimana proses penilaian kinerjanya.
Hal ini berangkat dari filosofi dasar bahwa korupsi itu adalah kejahatan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Karena korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka UU-nya juga harus luar biasa.
“Karena itu maka UU No 31/1999 junto UU No 20/2021 itu menggabungkan hukuman pidana dengan perdata, karena luar biasanya korupsi,” ungkap Abdullah.
Karena itu, maka organisasinya juga organisasi yang luar biasa, orangnya juga luar biasa. “Maka saya beri ilustrasi tentang luar biasanya SDM atau orang-orang di KPK. Tahun 2007 KPK merekrut pegawai baru, kemudian yang mendaftar 27.000 orang, padahal cuma butuh 100 orang. Kemudian dites yang lulus cuma 45 orang,” beber Abdullah.
“Coba Anda lihat dan bayangkan begitu dasyatnya proses seleksi di KPK, sehingga ada komisioner KPK yang lulus di DPR tapi ketika ikut tes pegawai KPK tidak lulus. Beberapa tahun lalu ia ikut seleksi pegawai KPK tidak lulus, tetapi ikut seleksi pimpinan KPK malah lulus, kenapa?”
“Karena penentuan akhir pimpinan KPK itu di DPR, dan DPR itu lembaga politik, maka kepentingannya juga politik. Kalau proses di KPK itu tidak ada kepentingan politiknya,” tambahnya. [wip]