(IslamToday ID) – Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono menegaskan rencana pembinaan ulang terhadap 24 pegawai KPK yang dinyatakan “merah” alias tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) dan harus dipecat adalah sebuah bentuk pelecehan.
Menurut Giri, lebih baik dipecat daripada harus dibina ulang. “Ini pelecehan bagi kita. Lebih baik kita dipecat. Daripada harus dibina lagi,” katanya dalam acara Mata Najwa di Trans7, Rabu (26/5/2021) malam.
Pernyataan penolakan untuk dibina juga disampaikan oleh Kepala Satgas Penyelidik KPK Harun Al Rasyid. Menurutnya, 75 pegawai yang dinyatakan tak lulus TWK telah bersepakat menolak pembinaan ulang usai keputusan rapat pimpinan KPK dan sejumlah lembaga pada Selasa (25/5/2021) lalu.
Harun memastikan rencana pembinaan ulang itu akan ditolak kecuali 75 pegawai secara keseluruhan beralih otomatis menjadi ASN.
“Kami sudah bersepakat dengan yang 75, bahwa kami menolak untuk dibina. Jadi, meski ada 24 yang akan dipisahkan dari 75 kami juga enggak akan mau, kecuali 75 itu secara otomatis dialihkan,” katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (27/5/2021).
Harun menyebut keputusan meloloskan 24 dari 75 pegawai agar dapat dibina tak lebih dari siasat seolah-olah pimpinan KPK mengikuti arahan Presiden Jokowi. Padahal, katanya, keputusan tersebut sebagai pembangkangan terhadap Jokowi.
“Itu kan siasat. Siasat seakan-akan telah mengikuti arahan presiden, padahal senyatanya mereka membangkang. Publik sudah pinter membaca strateginya,” ujarnya.
Seperti diketahui, hasil rapat koordinasi KPK, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kemenpan-RB, dan sejumlah lembaga terkait memutuskan 24 dari 75 pegawai lembaga antirasuah yang tak lulus TWK dapat dibina ulang lewat diklat bela negara dan wawasan kebangsaan.
Sedangkan yang 51 pegawai sisanya tak lagi bisa bergabung dengan KPK karena mendapat nilai merah dalam TWK alih status menjadi ASN. Mereka dianggap sudah tak bisa dibina untuk menjadi abdi negara.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan pimpinan KPK mengambil kebijakan lain dari arahan Presiden Jokowi mengenai nasib 51 pegawai yang tak lolos TWK.
Menurutnya, pemerintah sudah ikut serta dalam rapat dan menyampaikan arahan Presiden Jokowi. Akan tetapi, KPK tetap memiliki kewenangan tersendiri untuk memutuskan nasib pegawainya.
“Bahwa pimpinan KPK kemudian mengambil kebijakan lain tersendiri, hal tersebut merupakan kewenangan dan keputusan lembaga pengguna dalam hal ini KPK,” ungkap Moeldoko dalam keterangan tertulisnya.
Ia mengamini bahwa pemerintah memiliki kewenangan dalam pembinaan pegawai di KPK selaku lembaga negara. Namun, wewenang yang dimiliki tidak mutlak dan menyeluruh, sehingga tetap KPK yang bisa mengambil keputusan akhir.
“Pemerintah memiliki kewenangan tertentu tetapi tidak seluruhnya terhadap proses pembinaan internal di KPK. Karena itu, KPK sebagai pengguna dan pengambil keputusan akhir atas status 75 pegawai bertanggung jawab penuh atas semua implikasi yang ditimbulkan dari keputusan tersebut,” kata Moeldoko.
Ia juga membantah bahwa KSP maupun kementerian dan lembaga terkait mengabaikan instruksi Presiden Jokowi dalam proses yang menangani masalah ini.
Moeldoko menegaskan bahwa Menpan-RB Tjahjo Kumolo dan Menkumham Yasonna Laoly menjalankan arahan yang dikehendaki Jokowi. Semuanya telah disampaikan kepada pimpinan KPK beserta opsi-opsi solusinya.
Akan tetapi, kembali lagi bahwa KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukan nasib pegawainya yang tidak lolos TWK. “Tidak benar terjadi pengabaian arahan presiden,” ucap Moeldoko.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Kemenpan-RB telah mengusulkan pelaksanaan individual development plan (IDP). Ia menegaskan, posisi KSP, kementerian, serta lembaga yang berada dalam kewenangan langsung presiden tetap dan akan selalu menjalankan arahan Jokowi. [wip]