(IslamToday ID) – Ekonom INDEF Dradjad Wibowo menilai selama dua dekade terakhir keberpihakan terhadap produksi pertanian jauh melemah. Pangan tidak lagi diperlakukan sebagai komoditas strategis.
Ia pun menyoroti salah satu butir krusial dalam Letter of Intent antara IMF dan Indonesia yang menyebabkan kewenangan dan kemampuan finansial Bulog menjadi sangat dipreteli.
“Dengan kata lain, IMF mempreteli kemampuan Indonesia menjaga stabilitas harga pangan melalui Bulog. Harga di tingkat petani sering anjlok jauh lebih drastis saat panen raya,” kata Dradjad seperti dikutip dari Republika, Senin (3/5/2021).
Penempatan kebijakan pangan pada masa Soeharto, menurut Dradjad, berbeda dengan pemerintah sekarang. Menurutnya, komoditas pangan pokok dipandang sebagai komoditas strategis.
Kegagalan menjamin pasokan dari produksi nasional dianggap sebagai ancaman strategis bagi Polhankam nasional.
“Kegagalan menjaga stabilitas harga pangan dipandang sebagai ancaman bagi stabilitas nasional, baik melihat dari sisi ekonomi, kesejahteraan rakyat, maupun lebih serius lagi dari sisi Polhankam,” ujar Dradjad.
Lemahnya keberpihakan terhadap produksi pertanian (dibandingkan zaman Soeharto), menurut Dradjad, membuat produksi pangan Indonesia tumbuh lambat, stagnan, atau bahkan merosot.
“Sering anjloknya harga di tingkat petani makin mempercepat konversi lahan pertanian yang subur di Jawa dan Bali menjadi lahan perumahan dan nonpertanian lainnya,” ungkap Ketua Dewan Pakar PAN ini.
Kondisi ini diperparah dengan lemahnya keberpihakan terhadap riset dan inovasi pertanian dan pangan, rendahnya kepemilikan dan pengelolaan lahan per keluarga tani. Ini membuat produktivitas pangan Indonesia jauh lebih rendah dari Thailand dan Vietnam, sehingga biaya pokok dan harga jualnya pun lebih mahal.
Padahal, dengan pertumbuhan penduduk dan pendapatan per kapita Indonesia, otomatis kebutuhan pangan naik dengan cepat. Kenaikan ini jauh lebih cepat dari kenaikan produksi pangan, apalagi sebagian produksi tersebut stagnan.
“Itulah permasalahan mengapa Indonesia jauh lebih bergantung pada impor pangan, bahkan tergolong doyan impor selama dua dekade terakhir,” ujar Dradjad. Produksi tidak mencukupi konsumsi, sehingga mau tidak mau harus impor pangan agar harga stabil.
Di sisi lain, Dradjad menambahkan, selisih harga yang besar tersebut membuat impor menjadi bisnis yang super menggiurkan.
“Itu sebabnya hampir tiap tahun kita melihat keributan soal pengaturan kuota impor pangan, sampai tidak sedikit elite politik yang ditahan KPK,” kata Dradjad. Karena, kuota impor pangan sama dengan fulus besar.
Berdasarkan hitungan Dradjad, harga CIF beras ex-Vietnam jatuhnya sekitar Rp 7.738/kg. Tambah bea masuk, biaya gudang, dan sebagainya, harga pokok beras eks-Vietnam jatuh pada kisaran Rp 8.500/kg.
Sementara, berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional pada bulan April 2021 harga beras kualitas medium di pasar adalah Rp 13.350-13.600/kg.
“Harga pokok di atas ternyata sekitar 62,5 persen-64 persen dari harga eceran beras kualitas medium. Selisih harganya sangat fantastis sekitar Rp 5.000/kg,” kata Dradjad.
Antisipasi Kenaikan Harga Pangan
Pemerintah disarankan untuk menyiapkan rencana pengadaan sedini mungkin sebagai langkah antisipasi menghadapi tren kenaikan harga pangan dunia yang terus berlanjut. Hal ini utamanya dibutuhkan untuk mengamankan pasokan komoditas pangan yang dipenuhi lewat impor.
Wakil Menteri Perdagangan periode 2011–2014 sekaligus ekonom pertanian dari IPB University Bayu Krisnamurthi mengatakan kenaikan harga komoditas pangan tak lepas dari belum berakhirnya fenomena Commodity Super Cycle.
Ia mencatat harga kedelai Brasil telah naik 62 persen dibandingkan dengan harga April 2020. Harga minyak sawit Indonesia pun terpantau naik 94 persen dibandingkan dengan periode yang sama. “Kondisi ini diperkirakan masih akan berlangsung satu sampai satu setengah tahun lagi,” kata Bayu seperti dikutip dari Bisnis.com, Ahad (9/5/2021).
Ia mengatakan terdapat dua hal yang mempengaruhi harga komoditas secara global. Penyebab pertama adalah naiknya permintaan untuk komoditas tersebut. Contohnya terlihat pada impor minyak kelapa sawit mentah (CPO) India yang naik 90 persen antara April 2020 sampai 2021 dan juga naiknya impor kedelai China untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak.
Adapun penyebab kedua adalah berkurangnya pasokan akibat gangguan produksi. Contohnya adalah panen kedelai di Brasil dan Amerika Serikat (AS) yang kurang baik dan berkurangnya stok sapi di Australia dan Brasil.
Oleh karena itu, Bayu mengatakan Indonesia perlu merencanakan impor sedini mungkin karena terdapat risiko perebutan komoditas di pasar global dan juga alat pengangkut. Terlebih, lanjutnya, komoditas pangan yang masih ditopang lewat impor mencakup pangan pokok seperti gula, kedelai, gandum, dan daging sapi.
“Perencanaan impor harus dilakukan seawal mungkin karena akan terjadi ‘perebutan’ barang di pasar global. Pengalaman kesulitan kita menambah impor sapi pada kuartal I tahun ini menunjukkan kondisi itu,” lanjutnya.
Namun Bayu menyoroti pula dilema yang harus dihadapi pemerintah dalam menjaga pasokan dan stabilitas harga di dalam negeri di tengah pergerakan harga internasional. Untuk komoditas yang aktivitas impornya banyak dilakukan oleh pelaku usaha swasta, terdapat tantangan jika harga terlalu tinggi dan pebisnis lebih memilih menahan impor.
“Untuk menjaga pasokan tetap terjaga, memang serba sulit. Jika pemerintah tidak intervensi (ikut impor), bisa terjadi inflasi atau berdampak ke aktivitas hilirnya. Namun jika diintervensi, perlu APBN untuk meringankan harga dan tetap swasta yang harus mengimpor,” kata Bayu.
Dengan sejumlah alasan, perusahaan plat merah dinilai Bayu tidak selalu sanggup melakukan impor. Selain kesiapan administrasi, penjual di negara asal pun belum tentu langsung memberi kepercayaan kontrak kepada BUMN.
“Karena itu, impor harus direncanakan dan diantisipasi sedini mungkin karena prosesnya yang tidak mudah dan membutuhkan waktu. Alternatif lain ya kita terima harga di dalam negeri naik karena situasi global,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Indeks Harga Pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO Food Price Index/FFPI) pada April telah bertengger di 120,9 poin atau naik 1,7 persen dibandingkan dengan indeks pada Maret 2021. Indeks ini juga 30,8 persen lebih tinggi dibandingkan dengan April 2020.
Kenaikan pada April juga menandai tren harga pangan yang terus merangkak dalam 11 bulan terakhir, sekaligus memecahkan rekor sebagai indeks tertinggi sejak Mei 2014.
FAO melaporkan kenaikan pada April disumbang oleh naiknya sejumlah komoditas. Kontribusi kenaikan terbesar berasal dari gula, minyak nabati, daging, produk susu, dan serealia. Dari kelompok komoditas tersebut, sebagian diimpor Indonesia dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, yakni gula, kedelai, daging sapi, dan gandum. [wip]