(IslamToday ID) – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mewacanakan peluang partainya membangun koalisi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Ia memastikan PDIP akan berkoalisi dengan partai yang memiliki kesamaan ideologi.
Harapannya, kata Hasto, pasangan Capres dan Cawapres yang ada hanya dua dan dipastikan Pilpres digelar satu ronde.
“Maka kami akan bangun koalisi sehingga paling tidak pemilu ke depan hanya diikuti dua pasangan calon, tidak akan ada dua Pilpres, dua ronde. Supaya energi bangsa ini bisa difokuskan untuk mengatasi berbagai persoalan,” kata Hasto dalam diskusi daring bertajuk “Membaca Dinamika Partai dan Soliditas Koalisi Menuju 2024” yang digelar Para Syndicate, Jumat (28/5/2021).
Ia menyebut peluang PDIP dan Gerindra berkoalisi terbuka lebar mengingat kesamaan ideologi dan faktor lainnya. Ia juga menyebut ada peluang membangun kerja sama dengan PAN, PPP, dan PKB.
“Kami sama Partai Amanat Nasional sangat cocok untuk membangun kerja sama, terlebih setelah saya mendapat bisikan dari teman-teman PAN pasca Pak Amien Rais tidak ada di PAN. Itu makin mudah lagi untuk membangun kerja sama politik,” ujar Hasto seperti dikutip dari Tribunnews.
Menanggapi pernyataan Hasto itu, pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Robi Nurhadi mengatakan sah-sah saja berharap Pilpres 2024 hanya diikuti dua pasangan dalam konteks bahwa setiap orang boleh berpendapat.
“Namun dalam pandangan saya, perlu diperhatikan aspirasi politik dan dinamika politik yang berkembang. Misalnya, apakah dua pasangan Capres tersebut sudah mampu mengakomodir arus besar aspirasi rakyat? Atau dua pasangan Capres tersebut hanya representasi oligarkis? Apalagi misalnya, dua pasangan tersebut hanya dibuat untuk memudahkan pengaturan ‘kawanan politik’ tertentu, atau memudahkan kelompok bisnis tertentu untuk berinvestasi?” jelas Robi seperti dikutip dari Sindo News, Sabtu (29/5/2021).
Ia mengatakan berbagai riset tentang hal itu memperlihatkan bahwa jauh lebih stabil saat kontestasi politik itu diikuti oleh lebih dari dua pasang calon dibanding hanya dua pasang. “Lebih dari dua pasang calon bisa berdampak pada terurainya potensi konflik politik. Apalagi kalau ideologi masih menjadi tema pertarungan,” ujarnya.
Menurut Robi, lebih dari dua calon juga membuat sistem politik terlihat lebih akomodatif. Dalam konteks Indonesia saat ini, pilihan dua pasang Capres juga akan cenderung memperkokoh oligarki politik.
“Bahasa gaulnya, masyarakat sudah jenuh dengan fenomena 4L (Lu Lagi Lu Lagi). Kalau lihat survei Capres kan terlihat bagaimana munculnya nama-nama lain yang di luar dari ‘kawanan politik’ tertentu.”
Karena itu, Robi melihat bahwa publik mulai menghendaki adanya perubahan kepemimpinan nasional. Apakah dua pasang Capres mampu mengakomodir ini? Kalau salah satu pasangnya ada nama-nama lain, mungkin saja pola dua pasang Capres tersebut terwujud. Pertanyaannya, apakah PKS dan Demokrat mau mengusung nama-nama lain tersebut?
“Jadi, kata kuncinya adalah formasi pasangan Capres akan terbentuk mengikuti aspirasi rakyat yang berkembang, bukan aspirasi elit tertentu,” kata Robi.
Menguatkan Arus Polarisasi Politik
Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies Nyarwi Ahmad menyatakan ide Hasto tersebut positif dari sudut pandang efisiensi proses penyelenggaraan pemilu.
Namun, itu negatif bagi peluang politik yang lebih terbuka alias inklusif. Pasalnya, kesempatan nyalon ini hanya akan jadi milik elit parpol atau orang-orang dekatnya.
“Karena bukan tidak mungkin, panggung Pilpres nantinya hanya menjadi ruang kompetisi untuk segelintir elit yang berkuasa di parpol atau kalangan tertentu yang mendapatkan dukungan kuat serta memiliki kedekatan personal dengan elit-elit kunci di parpol,” tutur Nyarwi seperti dikutip dari Antara, Ahad (30/5/2021).
Selain itu, lanjutnya, sebagaimana pengalaman Pilpres 2014 dan 2019 lalu, pertarungan sengit antar dua pasangan Capres-Cawapres membuka peluang menguatnya arus polarisasi politik, khususnya berbasis agama.
Nyarwi pun menyodorkan opsi konvensi Capres di koalisi parpol, bukan di internal masing-masing parpol seperti yang pernah dilakukan oleh Partai Golkar pada 2004 dan Partai Demokrat pada 2009. “Namun, konvensi dilakukan oleh koalisi parpol yang hendak mengusung pasangan Capres,” katanya.
Konvensi yang dilakukan oleh koalisi parpol perlu dilakukan dengan mengedepankan keenam hal berikut. Pertama, konvensi dilakukan tidak ditujukan untuk menutup peluang publik, masyarakat, dan pemilih untuk mendapatkan sosok terbaik yang diinginkannya pada Pilpres 2024.
Kedua, proses seleksi dalam konvensi dilakukan berbasis indikator-indikator tertentu, seperti tingkat kecocokan antara orientasi ideologi personal kandidat dengan orientasi ideologi parpol.
Ketiga, potensi kontribusi kandidat tersebut untuk mewujudkan cita-cita ideologi dan kebijakan-kebijakan publik yang menjadi prioritas parpol, dan lain sebagainya. Indikator-indikator tersebut juga perlu diketahui oleh publik secara luas.
Keempat, setiap tahapan yang dijalankan dalam konvensi tersebut juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Kelima, konvensi tersebut dijalankan dengan mempertimbangkan dinamika pendapat publik, khususnya terkait dengan profil personal, karakter dan kapasitas pasangan Capres-Cawapres yang berpartisipasi dalam konvensi tersebut.
Keenam, mekanisme konvensi dilakukan dengan berbasis prinsip-prinsip demokratis dan juga mengedepankan inklusivitas, sehingga memberikan peluang semua kader parpol potensial ataupun tokoh publik yang memiliki rekam jejak dan kinerja bagus untuk maju.
Ketujuh, konvensi tersebut diarahkan untuk memilih kandidat terbaik yang memiliki profil personal, karakter, integritas dan kompetensi yang bagus serta dengan pengalaman memadai dalam mengelola pemerintahan.
Kedelapan, kandidat juga memiliki basis ideologis dan elektoral yang luas dan inklusif, agar dapat diterima di berbagai kalangan ketika kelak ia terpilih setelah Pilpres dilakukan. [wip]