(IslamToday ID) – Kondisi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang tengah terpuruk terus menjadi sorotan publik. Bahkan, masalah keuangan di maskapai plat merah itu membuat saling serang antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Konflik muncul antara Juru Bicara Kementerian BUMN Arya Sinulingga dengan Komisaris Garuda Indonesia Peter F Gontha. Dalam konflik itu terungkap bahwa pemegang saham minoritas Garuda Indonesia rugi mencapai Rp 11,2 triliun.
Peter melalui akun Instagram resminya @petergontha mengunggah surat terbuka yang menanggapi sejumlah pernyataan Arya di publik terkait posisi dirinya sebagai komisaris Garuda Indonesia.
“Kepada Mas Arya Sinulingga, mohon maaf saya kasih penjelasan dikit yah melalui surat terbuka,” tulis Peter dalam Instagram-nya seperti dikutip dari Kompas, Sabtu (5/6/2021).
Salah satu yang menjadi sorotan Peter dari pernyataan Arya adalah penunjukannya sebagai komisaris oleh pemegang saham minoritas di Garuda Indonesia. Ia mengungkapkan pemegang saham minoritas itu adalah pemilik CT Corp Chairul Tanjung.
“Memang saya mewakili orang yang memegang saham minoritas. Artinya dikit lah cuma 28 persen yaitu Chairul Tanjung (CT),” imbuhnya.
Peter pun membeberkan bahwa CT telah mengalami kerugian mencapai Rp 11,2 triliun akibat berinvestasi di Garuda Indonesia. Ia menjelaskan, kerugian yang didapat CT dalam kurun waktu Sembilan tahun adalah karena nilai saham maskapai ini terus merosot.
Kala itu CT membeli saham Garuda Indonesia senilai Rp 625 per unit, namun sekarang anjlok ke Rp 256 per unit saham.
“Waktu CT diminta tolong karena para underwriter gagal total, CT setor 250 juta dolar AS, waktu itu dolar AS masih sekitaran Rp 8.000, sekarang sudah Rp 14.500. Harga saham waktu itu Rp 625 sekarang sudah Rp 256,” jelasnya.
“Silakan hitung, tapi menurut saya, dalam kurun waktu sembilan tahun kerugian CT saya hitung sudah Rp 11,2 triliun termasuk bunga, belum hitung inflasi. Banyak juga ya Mas Arya?” lanjut Peter.
Menurutnya, dalam hal menanggung kerugian Garuda Indonesia, yang paling sakit adalah pihak CT, yang disebut sebagai pemegang saham minoritas atau pemegang saham ecek-ecek.
“Sementara orang yang tidak setor apa-apa bikin aturan-aturan dan strategi tanpa libatkan pihak Pak CT. Sedih kan?” katanya.
Oleh sebab itu, Peter mengaku dirinya bersuara untuk mewakili CT yang merugi, sebagai pihak yang memang ditunjuk menjadi komisaris Garuda Indonesia oleh CT.
“Jadi karena saya mendapat amanah untuk mewakili beliau (CT), ya saya menyuarakan kegalauan orang yang percaya kepada saya. Menurut saya Rp 11,2 triliun banyak juga yah?” tulis Peter.
Biasa Sewa Pesawat
Kementerian BUMN memaparkan bahwa alasan menumpuknya utang PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) hingga mencapai Rp 70 triliun disebabkan karena biaya sewa (leasing) pesawat yang di luar batas wajar.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan ada beberapa tipe pesawat yang menyebabkan kenaikan biaya-biaya tersebut.
“Memang permasalahan utama Garuda di masa lalu, karena leasing-leasing (sewa pesawat) melebihi cost yang wajar dan jenis pesawatnya terlalu banyak, contoh ada Boeing 737, Boeing 777, Airbus A320, A330, ATR, dan Bombardier, ini efisiensinya bermasalah, ditambah rute yang banyak diterbangi itu tidak profitable,” kata Kartika yang akrab disapa Tiko dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi IV DPR RI, Kamis (3/6/2021).
Ia menjelaskan duduk perkara utang Garuda selama ini, mulai dari beban biaya yang tak wajar, jenis pesawat yang terlalu banyak, dan rute penerbangan yang tidak menguntungkan.
Nyatanya, dari berbagai rute penerbangan yang dimiliki perusahaan, baik di dalam dan ke luar negeri tidak semuanya memberikan keuntungan untuk perusahaan. Sebab, penerbangan ke luar negeri ternyata masih merugi sejak sebelum pandemi.
Tiko mengungkapkan, saat ini biaya yang dikeluarkan Garuda dalam periode satu bulan nilainya mencapai 150 juta dolar AS atau setara Rp 2,15 triliun (kurs Rp 14.300), sementara itu pendapatan per bulan hanya mencapai 50 juta dolar AS atau Rp 715 miliar, sehingga kerugian per bulan mencapai 100 juta dolar AS atau setara dengan Rp 1,43 triliun.
Selain itu, yang jadi permasalahan baru yakni perubahan pengakuan kewajiban yang harus disampaikan dalam laporan keuangan sesuai dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), di mana kewajiban harus dicatatkan sebagai utang, dari ketentuan sebelumnya sebagai biaya operasi atau operational expenditure (opex).
“Tadi sudah disampaikan Pak Menteri (Menteri BUMN Erick Thohir). Sebenarnya dalam negeri itu, sebelum Covid-19 itu Garuda untung, tapi luar negerinya rugi, ini penyakit lama, tapi setelah Covid-19, ada permasalahan baru, yaitu perubahan pengakuan kewajiban di mana operasional lease (sewa pesawat) tadinya dicatat sebagai opex jadi utang,” terangnya.
Dengan demikian Garuda yang tadinya total utang sekitar Rp 20 triliun, bengkak jadi Rp 70 triliun.
“Yang memang secara PSAK dicatatkan, diharuskan dicatat sebagai kewajiban, ini membuat posisi secara neraca insolvensi (tak mampu bayar kewajiban tepat waktu), karena antara utang dan ekuitasnya sudah tidak memadai mendukung neraca keuangan,” terangnya. [wip]