ISLAMTODAY — Mantan Menteri Luar Negeri dan Menteri Kehakiman Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja, meninggal dunia pada Ahad (6/6/2021) pagi dalam usia 92 tahun.
“Turut berdukacita atas wafatnya Mochtar Kusumaatmadja,” demikian pernyataan akun Kantor Staf Presiden.
Guru besar fakultas hukum Universitas Padjajaran, Bandung, ini meninggal pada Ahad pagi pukul 09.00 WIB di kediamannya Jalan Belitung, Jakarta Selatan.
Mochtar menjabat menteri kehakiman pada Kabinet Pembangunan II tahun 1973-1978 dan menteri luar negeri Kabinet Pembangunan III dan IV tahun 1978-1988.
Mochtar Kusumaatmadja adalah seorang diplomat ulung. Kelihaiannya tercatat saat negosiasi batas batas wilayah perairan Indonesia lewat Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957, saat Mochtar menjadi salah satu delegasi Indonesia pada konferensi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS, Jenewa).
Itulah pertama kali Indonesia tampil di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk menyatakan klaim teritorial.
Penggagas konsep Wawasan Nusantara dan konseptor Deklarasi Djuanda itu menentang Undang-Undang buatan pemerintah kolonial Belanda yang menyebut laut Indonesia hanya berjarak 3 mil dari garis pantai.
Mochtar menilai Indonesia berhak atas wilayah laut menjadi 12 mil. Melalui diplomasi, Mochtar dan delegasi Indonesia berhasil memperluas wilayah laut Indonesia menjadi 12 mil tanpa perang.
Mochtar menderita sakit sejak 2015. Setelah dirawat intensif di rumah sakit, pria kelahiran 17 Februari 1928 itu dirawat oleh anggota keluarga di rumahnya, di Jakarta, hingga wafat pada hari ini.
Perumus Negara Kepulauan
Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, Dr. phil. Shiskha Prabawaningtyas, menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Bapak Prof. Mochtar Kusumaatmadja.
“Kami memberikan penghormatan luar biasa kepada putera bangsa terbaik atas pemikiran yang visioner dan strategis dalam merumuskan konsep negara kepulauan yang sebagai wujud konsep kedaulatan teritorial Indonesia, Tanah Air. Semoga beliau Khusnul Khotimah dan keluarga yang ditinggalkan mendapat kesabaran dan keikhlasan”, demikian pernyataan Shiskha di laman paramadina.
Shiskha menambahkan “Konsep negara kepulauan yang digaungkan lantang pada podium internasional ke seluruh penjuru dunia melalui Deklarasi Djuanda tahun 1957.
Adapun, Konsep negara kepulauan yang dalam implementasinya diwujudkan dalam konstruksi “Wawasan Nusantara”, wawasan kesatuan bangsa dan negara dalam segala bidang kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan, dan pertahanan dan keamanan yang harus diwujudkan demi kepentingan nasional. “
“Bangsa Indonesia memberikan penghargaan tertinggi dan tertulus kepada perjuangan diplomasi perbatasan atau “border diplomacy” Indonesia yang dipimpin oleh Prof Mochtar Kusumaatmadja secara gigih dan heroik selama 25 tahun proses diplomasi multilateral dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. “ imbuh Shiskha.
Shiskha mengatakan “Konsep negara kepulauan Indonesia akhirnya diakui secara internasional ketika diadopsi sebagai bagian dari tatanan kodifikasi hukum internasional pada tanggal 10 Desember 1982 melalui Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa – Bangsa (United Nations on the Law of the Seas/UNCLOS) di Montego Bay, Jamaica. Indonesia meratifikasi UNCLOS melalui UU No. 17 Tahun 1985.“
“Salam hormat dan ketulusan mendalam atas buah pemikiran Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang mewujudkan konsep Tanah Air melalui Wawasan Nusantara.”, Sishka, di Jakarta, 6 Juni 2021.
Dinilai Layak Jadi ‘Pahlawan Nasional’
Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berharap Mochtar bisa mendapatkan gelar pahlawan nasional atas jasa-jasanya selama ini untuk Indonesia.
“Setelah wafat, sangat layak Prof Mochtar diangkat menjadi Pahlawan Nasional karena jasa dan pengabdiannya yang luar biasa. Beliau adalah akademisi, intelektual, teknokrat dan diplomat yang telah menyumbangkan sesuatu yang sangat berarti bagi kemajuan bangsa kita,” tulis Yusril dalam akun Twitter @Yusrilihza_Mhd.
Yusril mengungkap, ketika menjadi Menteri Kehakiman dan Menlu, Mochtar gigih memperjuangkan gagasan wawasan Nusantara itu di forum internasional sehingga akhirnya menjadi spirit pengaturan UN Convention of the Law of the Sea (UNCLOS).
“Dengan UNCLOS negara kita diakui dunia sebagai negara kepulauan. Laut antara dua pulau adalah teritori kita berapapun jaraknya. Pengaturan tentang Zona Ekonomi Ekslusif 200 mil memperluas kewenangan kita di laut. Utang budi bangsa kita kepada Pak Mochtar dan juga pendahulu beliau Ir H Juanda mengenai masalah ini takkan terbayar selamanya,” ujarnya.
Dia mengaku amat belajar banyak ihwal dunia hukum terhadap almarhum semasa hidupnya. Kemudian, sebagai pejabat negara yang bersangkutan selalu bekerja dilandasi oleh semangat akademik dan intelektual yang tinggi.
“Dengan begitu, pejabat tak asal bicara dan mengambil keputusan asal-asalan,” ujarnya.
Menurut dia, jabatan politik harus dimanfaatkan untuk menyumbang sesuatu yang berharga bagi bangsa dan negara. Itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang seperti almarhum.
“Modal intelektual, ketajaman berpikir dan komitmen kebangsaan dan kenegaraan yang tinggi adalah hal yang utama.”
“Selamat jalan Pak Mochtar. Saya takkan pernah lupa kebaikan Pak Mochtar kepada saya. Semoga amal kebajikan Pak Mochtar diterima Allah SWT dan diampuni segala kekhilafannya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu,” kenang Yusril.
Deretan Jabatan Publik
“Beliau merupakan Guru Besar dan Dekan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Menteri Kehakiman Kabinet Pembangunan II Kabinet Pembangunan II (1973-1978), dan Menteri Luar Negeri Kabinet Pembangunan III dan IV Kabinet Pembangunan III dan IV (1978-1988),” demikian tulis akun Instagram resmi Kantor Staf Presiden (KSP)
Adapun Mochtar Kusumaatmadja lahir di Jakarta pada 17 Februari 1929. Ia merupakan putra dari pasangan R Taslim Kusumaatmadja dan Sulmini.
Ia menamatkan pendidikan hukumnya dengan spesialisasi hukum internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1955.
Pada tahun 1956, ia mendapat gelar Master of Laws (LL.M.) dari Yale Law School Amerika Serikat.
Meski kerap mendapat kesan angkuh, tetapi Mochtar merupakan orang yang percaya diri berkat keahliannya di bidang hukum internasional.
Sebelum menjadi menteri, sejak tahun 1959, ia menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad).
Ia kemudian diangkat menjadi Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Unpad dan menjadi Rektor Unpad pada 1972.
Pada tahun 1974, ia pun dipercaya Presiden Soeharto menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Pembangunan II.
Kemudian menjadi Menteri Kehakiman pada 1978 dan sebagai Menteri Luar Negeri di Kabinet Pembangunan III.[IZ]
Sumber: Kompas, Anadolu, KSP, Paramadina