(IslamToday ID) – Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Riza mengkritik keras rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sembako. Menurutnya, rencana tersebut melukai rasa keadilan.
“Janganlah, ini situasi begini ini, situasi yang juga kita harus pikirkan di mana masyarakat tertimpa banyak beban, sementara ekonomi belum tumbuh, jadi pemerintah perlu mempertimbangkan sembako ini untuk dikenai pajak PPN, atau sebelumnya pemerintah memberikan penjelasan yang rasional, yang logis yang bisa diterima oleh semua kalangan bahwa memang diperlukan pengenaan pajak kepada sembako. Saya yakin ini melukai rasa keadilan,” kata Faisol, Rabu (9/6/2021).
Menurutnya, masih banyak objek lain yang bisa dikenakan pajak. Pimpinan Komisi VI DPR dari Fraksi PKB itu meminta agar masyarakat tidak dibebankan dengan pajak sembako.
“Toh kalau memang memerlukan penambahan pendapatan masukan negara masih banyak sektor lain yang masih banyak digali, dikembangkan. Jangan mengenakan beban lebih banyak ke masyarakat yang justru saat ini membutuhkan bantuan pemerintah,” tuturnya seperti dikutip dari Detikcom.
Lebih lanjut, Faisol menilai banyak pihak lain yang bisa berkorban untuk mengganti pengenaan pajak pada sembako itu. Ia meminta agar usulan pengenaan pajak pada sembako ini dikomunikasikan dengan baik agar bisa diganti dengan objek lain.
“Saya juga yakin banyak pihak yang bisa berkorban untuk mengganti pengenaan pajak kepada sembako ini kalau dikomunikasikan dengan baik, dan jangan juga menyampaikan bahwa keadaan pemerintah baik-baik saja, karena kenyataannya kalau pengenaan pajak kepada sembako ini artinya sekarang pemerintah sedang berupaya membuat pemasukan agar negara ini stabil, yang mulai menyasar sektor-sektor yang sebenarnya menjadi sektor yang selama ini bebas pajak,” katanya.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharam berpendapat bahwa kenaikan PPN sangat merugikan rakyat kecil dan kontraproduktif dengan agenda pemulihan ekonomi nasional.
“Lebih dari 56 persen perekonomian Indonesia dibentuk oleh konsumsi masyarakat, apabila dikenakan PPN, logikanya daya beli masyarakat akan semakin turun, yang pada akhirnya justru menghambat pertumbuhan ekonomi,” kata Ecky di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021) seperti dikutip dari laman resmi Fraksi PKS.
Ecky mengatakan pemerintah tidak konsisten dengan rencananya sendiri, karena dalam KEM-PPKF jelas dikatakan bahwa strategi utama perpajakan ada ekstensifikasi perpajakan, dengan mencari sumber baru, bukan justru intensifikasi dengan kenaikan tarif PPN.
“Tarif PPN itu sangat bergantung dengan model PPN setiap negara. Negara yang menerapkan PPN secara luas, seperti Indonesia, umumnya tarif PPN-nya rendah, antara 5-10 persen, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Australia, Jepang dan Korea Selatan,” ungkap Ecky.
Kalau penerapan PPN-nya secara spesifik, imbuhnya, seperti negara-negara OECD baru wajar tarifnya di atas 10 persen.
“Pemerintah jadi tidak konsisten, penerapan PPN-nya luas, tapi ikut tarif yang tinggi,” pungkasnya.
Ecky menegaskan pajak pertambahan nilai masih jauh di bawah potensi yang ada, rasio PPN terhadap PDB hanya mencapai 3,6 persen, sangat rendah dari standar negara-negara secara umum yang mencapai 6-9 persen.
“Artinya, peluang untuk mendorong ekstensifikasi PPN masih besar, terutama diperkirakan potensi penerimaan PPN diperkirakan masih mencapai 32 persen dari potensi yang ada,” tegasnya.
Ecky mengingatkan pemerintah bahwa sumber PPN terbesar berasal dari PPN dalam negeri, berupa konsumsi masyarakat, dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri.
“Artinya, kenaikkan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi industry. Oleh sebab itu, dari awal saya katakan rencana ini justru kontraproduktif dengan agenda pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.
Ia menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil patut dipertanyakan, dimana ketika PPN yang terdampak ke masyarakat luas mau dinaikkan, sedangkan PPNBM untuk masyarakat kaya justru diturunkan.
“Logika pemerintah terbalik, pajak yang besar justru dikenakan kepada si miskin, bukan si kaya. Ini bertentangan dengan fungsi PPN sebagai salah satu instrumen untuk mengatasi ketimpangan pendapatan,” tutupnya. [wip]