(IslamToday ID) – Setelah heboh soal rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako, pemerintah juga berencana untuk mengenakan PPN pada jasa pendidikan dengan merevisi UU No 6 Tahun 1983.
Padahal sebelumnya, jasa pendidikan seperti sekolah tidak dikenakan pajak dikarenakan masuk kategori jasa bebas PPN.
Adapun rencana pengenaan ini tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Sebelumnya, isi ketentuan ayat (3) Pasal 4A sebagai berikut:
Jenis jasa yang tidak dikenai PPN yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut: a. jasa pelayanan kesehatan medis; b. jasa pelayanan sosial; c. jasa pengiriman surat dengan perangko; d. jasa keuangan; e. jasa asuransi; f. jasa keagamaan; g. jasa pendidikan.
Dalam draf RUU Revisi tersebut menghapus jasa pendidikan sebagai jasa yang tidak dikenai PPN. Ketentuan ayat (3) Pasal 4A diubah, sehingga Pasal 4A berbunyi sebagai berikut menjadi:
Jenis jasa yang tidak dikenai PPN yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut: a. dihapus; b. dihapus; c. dihapus; d. dihapus; e. dihapus; f. jasa keagamaan, meliputi jasa yang diberikan oleh penceramah agama atau pengkhutbah dan kegiatan pelayanan ibadah keagamaan yang diselenggarakan rumah ibadah; g. dihapus.
Jasa pendidikan yang dimaksud dalam hal ini sesuai dengan PMK 011 Tahun 2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Seperti PAUD, SD, SMP, SMA/SMK, hingga bimbel.
Menteri Keuangan Sri Mulyani buka suara soal rencana pungutan PPN sembako dan sekolah. Jawaban itu ia berikan dalam rapat di Komisi XI DPR, Kamis (10/6/2021).
Ani, sapaan akrabnya, mengaku bingung untuk memberikan jawaban kepada publik. Sebab, secara etika politik seharusnya draf rencana aturan pajak itu tidak bocor ke publik sebelum Presiden Jokowi menyampaikan langsung ke DPR.
Setelah itu, draf tersebut akan dibahas antara pemerintah dan DPR melalui komisi bersangkutan, yaitu Komisi XI. Bila pembahasan final dan kebijakan bisa dinyatakan menjadi aturan, barulah pemerintah memberikan penjelasan dan sosialisasi ke publik.
“Kami dari sisi etika politik belum bisa melakukan penjelasan ke publik sebelum ini dibahas, karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui surat presiden. Oleh karena itu, ini situasinya jadi agak kikuk karena kemudian dokumennya keluar, karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga, jadi kami tidak dalam posisi bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur dari rencana pajak kita,” ungkap Ani seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Lebih lanjut, bendahara negara itu menyayangkan bila draf aturan pajak yang bocor ini kemudian beredar menjadi informasi publik. Apalagi, rencana ini kemudian hanya dipahami secara sepotong atau tidak menyeluruh.
“Tapi yang keluar sepotong-potong, yang kemudian di-blow up menjadi sesuatu yang tidak mempertimbangkan situasi hari ini. Padahal, hari ini fokus kita adalah pemulihan ekonomi,” sambungnya.
Untuk itu, Ani meminta masyarakat untuk sabar menanti kelanjutan dari pembahasan rencana aturan pajak tersebut ke depan antara pemerintah dan DPR sesuai etika politik yang berlaku.
“Nanti kami akan lihat secara keseluruhan dan bisa bahas, apakah timing-nya harus sekarang? Apakah fondasinya harus seperti ini? Siapakah di dalam perpajakan yang harus bersama-sama disebut prinsip gotong-royong? Siapa yang pantas untuk dipajaki. Itu semuanya perlu untuk kita bawakan dan akan kami presentasikan secara lengkap by sector, by pelaku ekonomi,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga akan menjelaskan alasan kenapa usulan disampaikan.
“Kenapa kita usulkan suatu pasal ini? Alasannya? Background-nya? Dan kalau pun itu adalah arah yang benar, apakah harus sekarang? Atau 6 bulan lagi atau tahun depan? Itu semua akan kita bahas penuh dengan Komisi XI,” sambungnya.
Namun Ani menekankan berbagai rencana pungutan pajak itu tentu tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. Sebab, belum ada pembahasan antara pemerintah dan DPR. Hal ini membuat belum ada kebijakan yang final untuk dikeluarkan dan diimplementasikan ke masyarakat.
“Tidak mungkin pemerintah melakukan policy perpajakan tanpa didiskusikan dengan DPR. Itu saja dulu jawaban paling mantap, tidak mungkin itu. Jangankan pajak PPN, wong cukai saja kita harus minta dan diskusikan lama banget sama Bapak-Ibu sekalian,” pungkasnya.
BEM SI Tolak PPN Jasa Pendidikan
Koordinator Pusat BEM SI Nofrian Fadil Akbar menegaskan pihaknya menolak rencana pemerintah yang ingin memungut PPN pada jasa pendidikan. “Jelas kita tolak PPN untuk pendidikan ini,” katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (10/6/2021).
Fadil membeberkan beberapa alasan menolak rancangan kebijakan tersebut. Diantaranya potensial membuat biaya sekolah bagi warga semakin mahal di Indonesia.
Ia pun khawatir imbas kebijakan tersebut akan makin banyak warga yang putus sekolah. Padahal, pemerintah harus menjamin akses pendidikan yang terjangkau bagi warga negaranya.
“Kita lihat pendidikan akan makin mahal. Dan tentunya bisa terjadi banyak yang putus sekolah dan segala macam dampak lainnya,” katanya.
Selain itu, Fadil mengatakan rencana kebijakan tersebut potensial melanggar pasal 31 UUD 1945. Peraturan itu pada intinya mengatakan bahwa negara wajib memberikan perlindungan hak bagi warganya untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
“Kita kan jelas pendidikan untuk warga negara berhak memilikinya. Kalau dikenakan pajak ya tak sesuai dengan UUD 45 ini,” katanya.
Fadil mengatakan pihaknya masih melakukan kajian mendalam mengenai pengenaan PPN bagi sekolah. Hal itu bertujuan untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai dampak dari kebijakan tersebut bila diimplementasikan ke depannya. [wip]