(IslamToday ID) – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menolak wacana pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada bidang jasa pendidikan atau sekolah melalui revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
PGRI meminta pemerintah dan DPR mengkaji ulang wacana pemungutan PPN tersebut karena hanya akan merugikan pengelola pendidikan dan masyarakat.
“PGRI meminta pemerintah dan DPR untuk mengkaji ulang (kebijakan ini). Karena dengan kondisi Covid-19 ini, teman-teman swasta mulai PAUD sampai perguruan tinggi dalam suasana berjuang, suasana sulit,” kata Wakil Sekjen Pengurus Besar PGRI Dudung Abdul Qodir seperti dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (10/6).
Ia menilai pemungutan pajak pada layanan pendidikan bukan hanya merugikan pengelola pendidikan, namun juga masyarakat. Menurutnya, akan banyak pengelola pendidikan yang membebani pajak kepada masyarakat karena tidak mampu menalangi pengeluaran lebih.
Akibatnya, biaya sekolah akan lebih mahal karena dibebani pajak. Kondisi tersebut akan berdampak besar terhadap dunia pendidikan, khususnya dengan kondisi ekonomi yang masih lesu karena dampak pandemi Covid-19.
Jika pemerintah menginginkan wacana itu tetap dijalankan, Dudung menyarankan kebijakan tersebut dilakukan setelah ekonomi sudah kembali normal. Ia juga meminta pemerintah melibatkan masyarakat dalam pembahasan kebijakan pemungutan pajak itu.
Menurutnya, pemerintah dan DPR perlu mengundang organisasi masyarakat terkait seperti PGRI, PP Muhammadiyah, hingga PBNU untuk membahas keputusan tersebut karena bisa berdampak pada masyarakat luas.
“Kalau ekonomi sudah bangkit, sudah normal, ayo kita kaji bersama-sama, apakah sudah tepat komersialisasi pendidikan di republik ini?” tambahnya.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda juga mengkritisi rencana pemerintah mengenakan PPN terhadap jasa pendidikan atau sekolah.
Ia menilai rencana itu akan memberikan dampak serius bagi masa depan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Salah satunya berdampak pada biaya pendidikan yang semakin mahal.
“Pengenaan PPN ini berpotensi berimbas serius terhadap jasa pendidikan. Karena pajak ini oleh lembaga pendidikan akan dibebankan kepada wali murid. Biaya pendidikan akan menjadi tinggi,” kata Huda seperti dikutip dari Suara, Kamis (10/6/2021).
Sebagai ketua komisi yang membidangi pendidikan, Huda mengaku memahami pemerintah berusaha memperluas basis objek pajak di Tanah Air untuk peningkatan pendapatan negara. Namun, ia mewanti-wanti pemerintah agar berhati-hati memasukkan pendidikan sebagai objek pajak.
“Kami memahami jika 85 persen pendapatan negara tergantung pada sektor pajak. Kendati demikian pemerintah harusnya berhati-hati untuk memasukkan sektor pendidikan sebagai objek pajak,” ujarnya.
Untuk diketahui, pemerintah akan memungut PPN pada jasa pendidikan sebagaimana tertuang dalam revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Padahal sebelumnya, jasa pendidikan alias sekolah masuk kategori jasa bebas PPN.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengklaim rencana kebijakan itu dipikirkan pihaknya untuk keadilan. Argumen tersebut ia sampaikan karena dengan begini masyarakat yang mampu bakal dikenakan pajak dan tidak mendapat pembebasan PPN.
Ia juga berdalih pengenaan PPN pada sekolah tidak selalu berdampak pada peningkatan biaya pendidikan. Pada sekolah yang dibiayai pemerintah, katanya, maka pajak akan ditanggung pemerintah.
“Kalau yang seperti ini kan nirlaba atau subsidi, jadi tidak dikenai PPN. Jadi sasarannya lebih kepada yang segmennya konsumen mampu, termasuk pendidikan non-sekolah,” jelas Yustinus. [wip]