ISLAMTODAY ID — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir memberikan kritik terhadap rencana kebijakan penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) pada sektor pendidikan.
Haedar memperingatkan, saat ini beban pendidikan Indonesia sangat tinggi dan berat. Terlebih, pada era pandemi Covid-19.
“Lantas mau dibawa ke mana pendidikan nasional yang oleh para pendiri bangsa ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” pungkasnya Jumat (11/6), dilansir dari Republika.
Ketum PP Muhammadiyah menegaskan, di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T), pendidikan masih tertatih-tatih menghadapi segala kendala dan tantangan. Di daerah tersebut, belum ada pemerataan pendidikan oleh pemerintah. Pendidikan Indonesia juga semakin berat menghadapi tantangan persaingan dengan negara-negara lain.
“Di tingkat ASEAN saja masih kalah dan berada di bawah, kini mau ditambah beban dengan PPN yang sangat berat. Di mana letak moral pertanggungajawaban negara atau pemerintah dengan penerapan PPN yang memberatkan itu?” tegas Haedar.
Menurutnya, konsep pajak progresif, apalagi dalam bidang pendidikan, secara ideologis menganut paham liberalisme absolut. Dengan begitu, hal itu perlu ditinjau ulang karena tidak sejalan dengan jiwa Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia yang mengandung spirit gotong royong dan kebersamaan.
“Apakah Indonesia akan semakin dibawa pada liberalisme ekonomi yang mencerabut Pancasila dan nilai-nilai kebersamaan yang hidup di Indonesia? Masalah ini agar direnungkan secara mendalam oleh para elite di pemerintahan,” pungkasnya.
Ia mengungkapkan, para perumus konsep kebijakan dan pengambil kebijakan di Republik ini semestinya menghayati, memahami, dan membumi dalam realitas kebudayaan bangsa Indonesia. Dia meminta agar tidak membuat Indonesia semakin menganut liberalisme dan kapitalisme.
“Jangan bawa Indonesia ini menjadi semakin menganut rezim ideologi liberalisme dan kapitalisme yang bertentangan dengan konstitusi, Pancasila, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia,” tandasnya.
PPN Jasa Pendidikan
Untuk diketahui, pemerintah akan memungut PPN pada jasa pendidikan sebagaimana tertuang dalam revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Padahal sebelumnya, jasa pendidikan alias sekolah masuk kategori jasa bebas PPN.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengklaim rencana kebijakan itu dipikirkan pihaknya untuk keadilan. Argumen tersebut ia sampaikan karena dengan begini masyarakat yang mampu bakal dikenakan pajak dan tidak mendapat pembebasan PPN.
Ia juga berdalih pengenaan PPN pada sekolah tidak selalu berdampak pada peningkatan biaya pendidikan. Pada sekolah yang dibiayai pemerintah, katanya, maka pajak akan ditanggung pemerintah.
“Kalau yang seperti ini kan nirlaba atau subsidi, jadi tidak dikenai PPN. Jadi sasarannya lebih kepada yang segmennya konsumen mampu, termasuk pendidikan non-sekolah,” jelas Yustinus. [IZ]