(IslamToday ID) – Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding jaksa Pinangki Sirna Malasari. Vonis terhadap Pinangki berkurang menjadi 4 tahun penjara dari semula 10 tahun.
Pinangki terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang (TPPU), dan pemufakatan jahat terkait sengkarut penanganan perkara terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa (Pinangki) tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 600 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” demikian dikutip dari amar putusan yang dilansir dari situs Pengadilan Tinggi Jakarta, Senin (14/6/2021).
Perkara ini diadili oleh hakim ketua Muhammad Yusuf, dengan hakim anggota masing-masing Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik.
Putusan ini mengubah putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 8 Februari 2021 Nomor: 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim banding mengatakan putusan pengadilan tingkat pertama terlalu berat. Terlebih, Pinangki mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
“Oleh karena itu, ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik,” kata hakim banding seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Pertimbangan lainnya adalah Pinangki seorang ibu yang mempunyai anak berusia 4 tahun. Menurut hakim, kondisi tersebut layak diberi kesempatan agar Pinangki dapat mengasuh dan memberi kasih sayang dalam masa pertumbuhan sang anak.
“Bahwa terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil,” tandas hakim.
Menurut hakim, perbuatan Pinangki tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya mempengaruhi putusan.
“Bahwa tuntutan pidana jaksa penuntut umum selaku pemegang asas dominus litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat,” imbuh hakim.
Diketahui, saat itu jaksa penuntut umum menuntut Pinangki dengan pidana 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Terkait putusan banding itu, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai hukuman banding yang diterima Pinangki seharusnya lebih berat karena statusnya sebagai aparat penegak hukum di Indonesia.
“Penegak hukum kita terlalu gegabah melihat tindak pidana yang dilakukan oleh seorang penegak hukum. Harusnya hukuman (banding) diperberat, bukan dipotong jadi 4 tahun,” kata Fickar, Selasa (15/6/2021).
Bukan Orang Biasa
Ia menilai seharusnya hakim banding melihat status Pinangki yang “bukan orang biasa” ketika menjatuhkan vonis banding.
Pinangki, katanya, berstatus sebagai aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum di Indonesia. Namun Pinangki justru melakukan penyalahgunaan wewenang dengan melakukan tindak pidana korupsi menggunakan statusnya tersebut.
“Bahwa tiap orang punya keluarga, punya anak wajar saja, nggak bisa jadi alasan meringankan. Siapa pun begitu. Tapi Itu (Pinangki) penegak hukum yang punya kewenangan, kalaupun dia berbuat kejahatan itu harus jadi faktor memberatkan,” kata Fickar.
Lebih lanjut, ia menilai tindakan memotong masa tahanan menunjukkan hakim banding tak memiliki kepekaan. Terlebih, tindakan korupsi itu dilakukan oleh seorang aparat penegak hukum.
Menurutnya, kondisi ini sangat berbahaya bagi penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia ke depannya. “Artinya majelis hakim nggak punya sense of crisis terhadap situasi penyimpangan yang dilakukan penegak hukum,” kata Fickar.
“Ini jadi peringatan bagi yang lain, ternyata penegak hukum juga pikiran atau semangat memberantas korupsinya kurang. Malah dianggap biasa. Ini sangat jadi alarm keras bagi darurat pemberantasan korupsi,” tambahnya.
Sementara itu, juru bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting mengatakan pihaknya tak bisa menilai benar atau salah suatu putusan pengadilan. Miko menyebut KY hanya berwenang mendalami perilaku hakim dalam mengadili suatu perkara.
Demikian disampaikan Miko sekaligus merespons Indonesia Corruption Watch (ICW) yang meminta KY menelusuri kejanggalan vonis banding jaksa Pinangki.
“Dengan basis peraturan perundang-undangan saat ini, Komisi Yudisial tidak diberikan kewenangan untuk menilai benar atau tidaknya suatu putusan. Namun, KY berwenang apabila terdapat pelanggaran perilaku dari hakim, termasuk dalam memeriksa dan memutus suatu perkara,” ujar Miko.
Ia berujar KY juga diberikan kewenangan untuk menganalisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai rekomendasi mutasi hakim. Ia pun menyarankan publik membuat eksaminasi untuk merespons vonis tersebut.
“Keresahan publik terhadap putusan ini (banding Pinangki) sebenarnya bisa dituangkan dalam bentuk eksaminasi publik oleh perguruan tinggi dan akademisi. Dari situ dapat diperoleh analisis yang cukup objektif dan menyasar pada rekomendasi kebijakan,” ujarnya. [wip]