(IslamToday ID) – Mantan komisioner KPK Busyro Muqoddas menyatakan pelemahan KPK merupakan kisah sukses kerja sama pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi dengan DPR RI.
Ia mengatakan pelemahan KPK ini sudah dimulai dari revisi terhadap UU KPK yang kini telah disahkan.
“Itu melumpuhkan KPK dengan sempurna. Ini bisa dikatakan sebagai success story dari Pak Jokowi,” kata Busyro dalam diskusi daring “Agenda Mendesak Penguatan KPK” yang digelar Fisipol UMY, Sabtu (19/6/2021).
Menurutnya, bukti kerja sama pemerintah ini juga terlihat jelas dalam kisruh tes wawasan kebangsaan (TWK) yang membuat 75 pegawai KPK akhirnya terdepak.
Hingga saat ini, katanya, tak ada satu pun partai politik yang menunjukkan sensitivitasnya terhadap 75 pegawai KPK ini. Ini, kata Busyro, membuktikan tak ada satu pun parpol yang benar-benar peduli dengan penguatan KPK.
“Sampai sekarang mana ada parpol yang menunjukkan sensitivitas mereka terhadap 75 pegawai KPK ini,” katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Menurut Busyro, banyak pihak yang memang takut dengan independensi KPK. Dengan keberadaan KPK, banyak pihak mengalami kesulitan untuk bermain dan mengeksploitasi ekonomi demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Maka, kata Busyro, jalan terbaik bagi mereka adalah dengan melakukan pelemahan terhadap lembaga antirasuah itu. “Jadi, KPK-nya harus dilumpuhkan. Harus dilemahkan,” kata Ketua PP Muhammadiyah ini.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan bahwa dalam sistem tata negara presidensial, mestinya presiden sebagai lembaga tertinggi negara menjadi pihak paling bertanggung jawab dalam setiap persoalan berkaitan dengan KPK.
Ia menegaskan bahwa sentral kekuasaan memang ada di tangan presiden yang saat ini dijabat Jokowi.
“Dalam hal Undang-Undang KPK dan TWK ini sangat sulit bagi presiden menghindari rasa tanggung jawab. Kenapa? Presiden tidak akan mungkin ingkari publik untuk mempertanggungjawabkan ini,” kata Feri.
Dalam pembentukan undang-undang, campur tangan presiden selalu ada. Misalnya, dengan mengirim surpres dan perwakilan dari pemerintah dalam setiap pembahasan undang-undang di Senayan.
Meski begitu, menurut Feri, Jokowi memang kerap berkilah tak terlibat dengan urusan UU Pemilu lantaran revisi tersebut tak diusulkan pemerintah, bahkan ia tak menandatangani hasil revisi UU ini.
“Presiden berkilah dengan tidak tanda tangan undang-undang yang sudah disetujui bersama. Kalau dilihat ini dari konteks undang-undang, cara berkelitnya kurang bagus. Seolah semua orang enggak tahu soal tanggung jawab presiden dalam pembentukan undang-undang,” katanya. [wip]