(IslamToday ID) – Ketua KPK Firli Bahuri ditengarai sebagai pihak yang sengaja memasukkan syarat tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK untuk alih status sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Alhasil 75 pegawai KPK tak lolos, 51 diantaranya sudah dicap “merah” dan tak bisa dibina.
Sejumlah pihak menduga TWK hanya sebagai alat untuk menyingkirkan pegawai tertentu di KPK, khususnya terkait dengan perkara-perkara besar.
Sebelum adanya polemik TWK, nama Firli kerap disebut sebagai penghalang penanganan kasus. Seperti akhir Maret 2019, sejumlah penyelidik dan penyidik KPK membuat petisi kepada pimpinan KPK yang dipimpin Agus Rahardjo Cs.
Salah satu isi petisi memprotes tingginya tingkat kebocoran kasus yang diduga dilakukan Firli saat masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
“Pada waktu itu, beberapa rekan penyelidik dan penyidik sempat menghadap kepada pimpinan dan menyampaikan bahwa ‘Bagaimana ini, Pak ini ada banyak sekali perkara yang bocor, OTT yang bocor, yang gagal’,” ujar penyidik KPK, Hasan dalam film dokumenter Watchdoc Documentary bertajuk “The End Game” seperti dikutip dari Kumparan, Selasa (22/6/2021).
“Namun kebetulan belum sempat dijatuhkan sanksi etik, (Firli) sudah ditarik kembali ke instansi asal (Polri),” lanjutnya.
Petisi yang sempat ramai diperbincangkan membuat pimpinan KPK menggelar pertemuan dengan para penyelidik dan penyidik. Pertemuan digelar pada 16 April 2019 di ruang rapat lantai 15 Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Berdasarkan notulensi pertemuan tersebut, terungkap saat Deputi Penindakan KPK dijabat Firli Bahuri, setidaknya 27 kasus bocor, 9 diantaranya merupakan OTT. Mayoritas kasus bocor di tahap penyelidikan dari beberapa Kasatgas.
Seperti yang disampaikan Kasatgas Penyelidikan A yang melaporkan 4 kasus bocor saat Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlidik) diterbitkan. “Lainnya bocor pada tahap meminta pimpinan menyetujui penyadapan,” kata Kasatgas Penyelidikan A.
Kemudian laporan Kasatgas Penyelidikan B menyatakan 3 kasus bocor. Dari 3 kasus itu, 1 perkara bisa dieksekusi, sedangkan sisanya gagal.
“Bocornya sangat spesifik, artinya informasi yang diperoleh merupakan apa yang menjadi target yang akan dilakukan tim lapangan. Hal itu mengindikasikan kebocoran dari internal,” ucap Kasatgas Penyelidikan B.
Lalu Kasatgas Penyelidikan C yang melaporkan 5 kasus bocor pada Januari-Maret 2019. Ia menyebut kebocoran mengancam keselamatan tim di lapangan.
“Terkadang muncul komunikasi ‘coba dicari’ dan ‘di mana mereka menginap’. Jadi tidak hanya menggagalkan kasus, tapi juga dapat mengancam keselamatan tim di lapangan,” ucap Kasatgas Penyelidikan C.
Tim Kena Razia
Sedangkan Kasatgas Penyelidikan D menyatakan terdapat 4 kasus di 4 kota berbeda yang ditanganinya bocor. Kasatgas itu bercerita bocornya informasi semisal ketika hendak OTT penyuap dan penerima suap. Sekitar 20 menit setelah landing dari pesawat, tim mendapatkan informasi ajudan penyelenggara negara yang menjadi target berkomunikasi dengan pihak pemberi suap bahwa KPK sudah merapat.
Contoh lain ketika hendak menangkap penyelenggara di suatu daerah. Tim KPK sengaja menginap di hotel yang berbeda provinsi dengan target operasi. Ketika hendak menuju daerah tempat target berada, tim terkena razia.
“Terdapat perbedaan perlakuan razia terhadap tim dengan pengendara lain. Tim hanya diminta KTP, namun SIM dan STNK tidak. KTP dan anggota tim difoto kemudian mereka sibuk berkomunikasi. Razia dilakukan di beberapa Polsek, tas-tas milik tim juga dibuka, kemudian tim yang terkena razia dibawa ke Polres karena ada tuduhan membawa narkoba dan penggunaan mobil bodong,” jelas Kasatgas Penyelidikan D.
“Tidak lama kemudian tim yang berhasil lolos dari 2 kali razia sedang menepi, namun tiba-tiba polisi dengan motor menghampiri tim dan meminta kembali KTP tim. Pada saat itu tim mendengar komunikasi polisi tersebut dengan polisi lainnya. Dari komunikasi tersebut terdengar ’86, 86, iya Pak, mereka dari KPK’ dan diajak ke Polres,” lanjutnya.
Menurut Kasatgas Penyelidikan D, insiden tersebut karena adanya kebocoran. Sehingga diduga ada komunikasi antara calon penerima dengan temannya guna menghambat tim KPK.
Kebocoran kasus juga terjadi di bawah Kasatgas Penyelidikan E. Ia melaporkan adanya kebocoran perkara di suatu kabupaten di Sumsel. Diduga kebocoran terkait orang dalam KPK. “Sejak itu kasus tersebut tidak dapat dilanjutkan,” kata Kasatgas Penyelidikan E.
Kasatgas Penyelidikan E menambahkan, kebocoran lain terjadi pada 19 Maret 2019. Ketika itu, tim hendak menangkap penyelenggara negara di sebuah lokasi.
“Namun saat pertemuan itu ada tim Polda dan Disrekrimsus (eks KPK) datang bertemu dengan TO (Target Operasi) di Hotel Makassar (Kemendes). Setelah pertemuan tersebut, komunikasi seseorang dengan istrinya dimana menyebutkan bahwa KPK turun di lapangan sedang mengincar mereka. Setelah itu tim ditarik untuk mencegah sesuatu terjadi di lapangan,” ucapnya.
Masih dalam rapat dengan pimpinan KPK pada 16 April 2019, Kasatgas Penyelidikan F melaporkan 3 kasus bocor. Seluruh kasus berada di Lampung. Ia menyebut terjadi perbedaan informasi pada 3 kasus itu.
Seperti pada 2018, seorang bupati dipanggil seorang petinggi partai. Sedangkan 2 kasus di 2019, terjadi kebocoran saat OTT.
“Berbeda dengan tahun lalu, sekarang bocornya di hasil penyadapan menyebut ‘Pak Jenderal’, yang kedua bocornya itu dari salah satu Wadir yang mendapat informasi dari Mabes,” ucapnya.
Terakhir, kebocoran disampaikan Kasatgas Penyelidikan G. Ia menyebut terjadi kebocoran 5 OTT. Meski demikian seluruhnya tetap bisa dieksekusi.
“Kebocoran diduga terkait dengan petinggi. Kasus bocor dari 2018 menyebut petinggi partai sudah memperingatkan bahwa ‘kita sudah dipantau selama 24 jam’. Untuk kasus lainnya yaitu kasus Cirebon Oktober 2018 OTT menyebut nama H sebagai sumber informasi,” katanya.
Upaya Meningkatkan OTT
Sementara itu, eks Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengkonfirmasi adanya pertemuan tersebut. “Memang banyak yang menyampaikan indikasi-indikasi (kebocoran) itu,” ucap Saut.
Meski demikian, Saut tidak tahu pasti jumlah kasus yang dilaporkan bocor. Ia hanya mengingat dalam pertemuan itu sempat marah karena bocornya upaya penegakan hukum. Padahal, KPK pada 2019 berupaya meningkatkan OTT dari tahun sebelumnya.
Pada 2018, KPK menggelar 30 OTT atau yang paling tertinggi sepanjang sejarah. Jumlah itu menurun menjadi 21 OTT pada 2019. “Harusnya bisa naik lagi 50 (OTT) atau berapa kan,” ujar Saut.
Penyidik senior KPK Novel Baswedan membenarkan adanya soal petisi pada tahun 2019 itu. Rapat dengan pimpinan merupakan tindak lanjut atas petisi itu.
“Pertemuan itu tindaklanjut dari petisi para pegawai KPK karena masalah dugaan konflik kepentingan dan atau menghalangi kasus di KPK oleh FB (Firli Bahuri) sebagai Deputi Penindakan saat itu,” ungkap Novel.
Mantan juru bicara KPK Febri Diansyah juga membenarkan adanya rapat tersebut. Ia pun hadir dalam rapat karena diminta pimpinan KPK.
“Yang saya ingat, ada petisi dan ada keinginan teman-teman untuk menyampaikan langsung ke pimpinan. Saat itu setelah dijadwalkan Sespim, saya juga diminta pimpinan untuk hadir di pertemuan. Teman-teman menyampaikan apa yang terjadi ke pimpinan. Seingat saya tidak ada resistensi pimpinan. Dan di pertemuan tersebut pimpinan menyampaikan bahwa mereka telah mendengar dan akan membahas di level pimpinan untuk menentukan tindakan apa yang akan dilakukan,” paparnya.
Febri menyebut bahwa pertemuan itu untuk memfasilitasi keresahan para pegawai yang merasa terjadi banyak kebocoran.
“Saat itu, saya lupa persis waktunya, ada keresahan yang saya dengar di teman-teman penindakan, khususnya penyelidikan. Beberapa rencana OTT seperti sudah diketahui pihak-pihak terkait di lokasi. Bahkan ada tim yang tiba-tiba dihentikan mobilnya di jalan saat turun ke daerah,” kata Febri
Menurutnya, kondisi ini menimbulkan keresahan karena tim KPK menjadi sulit menjalankan tugasnya menangkap para pelaku korupsi.
“Sampai ada satu inisiatif Satgas untuk membiayai operasi mereka sendiri. Kebetulan saat itu baru terima insentif tahunan dari kantor. Dan ternyata berhasil lakukan OTT. Tapi hal ini tentu tidak bisa terus-terusan dilakukan,” pungkas Febri.
Firli Bahuri yang dikonfirmasi mengenai hal ini belum memberikan respons. [wip]