(IslamToday ID) – Seorang petani dan nelayan mengajukan gugatan uji materi atau judicial review UU No 3 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) ke Mahkamah Konstitusi (KY).
Para penggugat tersebut yakni Nurul Aini (46), petani dari Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dan Yaman, nelayan asal Desa Matras, Kabupaten Sungailiat, Provinsi Bangka Belitung. Gugatan turut diajukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur.
“Tepat pada hari ulang tahun ke-60 Presiden Joko Widodo hari ini, rakyat Indonesia mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi atas 9 pasal dalam UU Minerba No 3 Tahun 2020 tentang perubahan UU Minerba No 4 Tahun 2009,” ujar salah seorang penggugat dari Walhi, Dwi Sawung seperti dikutip dari CNN Indonesia, Senin (21/6/2021).
Secara garis besar, sejumlah pasal yang diuji itu berkaitan dengan sentralisasi kewenangan dalam penyelenggaraan penguasaan Minerba dan jaminan operasi industri pertambangan meski bertentangan dengan tata ruang.
Kemudian perpanjangan izin otomatis atas Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tanpa evaluasi dan lelang, serta pasal pembungkaman hak veto rakyat yang tidak setuju terhadap keberadaan proyek pertambangan dari hulu hingga hilir di pembangkitan.
“Industri pertambangan diberikan keleluasaan untuk tetap beroperasi meski di wilayah yang bertentangan dengan tata ruang. Pemegang Kontrak Karya dan PKP2B (IUPK) juga diberikan perpanjangan izin otomatis tanpa evaluasi dan lelang,” kata Sawung.
Ia menambahkan, keberadaan UU Minerba yang baru melanggengkan praktik eksploitasi sumber daya alam khususnya batubara.
“Padahal sumber energi kotor tersebut semakin ditinggalkan, sebab berdampak serius terhadap kelestarian lingkungan, krisis iklim, dan kesehatan masyarakat,” imbuhnya.
Dari keterangan resmi Gerakan #BersihkanIndonesia, dikatakan bahwa Nurul Aini dan Yaman merupakan korban intimidasi dan represi aparat keamanan ketika berupaya menjaga kehidupan dari dampak buruk pertambangan.
“UU Minerba ini hanya melindungi tambang. Kalau UU itu dihapuskan, masyarakat aman. Perusahaan tidak bisa mengkriminalisasi warga lagi,” kata Nurul Aini.
Sementara untuk Yaman, ia mengatakan hak asasinya sebagai warga negara justru semakin ditindas. Aksi protes damai yang dilakukan bersama nelayan lainnya untuk melindungi wilayah tangkap ikan agar tidak dirusak oleh pertambangan justru berakhir kriminalisasi.
Yaman mengaku menerima surat panggilan dari kepolisian yang menggunakan pasal 162 UU Minerba No 3 Tahun 2020. Menurutnya, protes damai dianggap merintangi usaha pertambangan.
“UU Minerba ini membatasi ruang gerak nelayan untuk menolak dan menghalangi aktivitas pertambangan di sini. UU Minerba membuat kami tidak bisa cari makan di tanah lahir kami sendiri,” kata Yaman.
Rusak Kehidupan Masyarakat
Penasihat Hukum LBH Bandung, Lasma Natalia mengungkapkan sejumlah problem tambang terjadi, ada di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, hingga Papua. Saat UU diterbitkan, ada penolakan cukup besar dari masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Problem ini, hingga setahun berjalan belum juga selesai.
“UU Minerba akan dijadikan legitimasi untuk memperlancar kegiatan pertambangan yang bisa berakibat kerusakan alam dan lingkungan. Bahkan bisa merusak kehidupan masyarakat itu sendiri,” ungkapnya dalam kegiatan press conference “Rakyat Ajukan JR UU Minerba” yang dilaksanakan secara virtual, Senin (21/6/21).
Dalam hal ini, sebenarnya Presiden Jokowi memiliki kewenangan untuk executive review, apakah mau mencabut atau tidak UU ini. Walau sebenarnya kewenangan tersebut bisa saja dilakukan sejak tahun lalu.
“Tidak ikut mengesahkan UU ini. Tapi kalau pun tidak dilakukan, mungkin presiden paling tidak, tidak mengintervensi proses judicial review yang berjalan. Karena jangan sampai, setelah masyarakat sudah melakukan prosedural hukum malah ada penekanan dari eksekutif dan legislatif,” terangnya.
Dalam pengajuan uji materiil JR ini ada beberapa pasal yang jadi sorotan. Pada umumnya ada empat kelompok besar. Pertama pasal terkait perpindahan kewenangan daerah pada pusat.
“Menurut kami jika kewenangan ini berpindah dapat menghambat akses masyarakat. Khususnya di daerah yang berhadapan langsung dengan kegiatan pertambangan,” ungkap Lasma seperti dikutip dari IDN Times.
Kemudian terkait jaminan undang-undang, bahwa satu wilayah yang sudah ditentukan sebagai wilayah pertambangan dijamin untuk terus menjadi wilayah pertambangan.
“Padahal kita tahu, satu wilayah pasti mengalami perubahan setelah digunakan sebagai pertambangan. Apalagi akan ada kerusakan. Jika ada jaminan itu tidak memperhatikan prinsip lingkungan hidup yang baik,” urainya.
Ketiga, pasal pidana terus-menerus digunakan untuk kriminalisasi warga yang melakukan penolakan terhadap kegiatan pertambangan. Ia menyebut ada warga yang sebagai pemohon, atau lainnya yang menjadi terlapor atau dikriminalisasi menggunakan pasal ini.
“Terakhir jaminan otomatis Kontrak Karya (KK) dan PKP2B tanpa proses evaluasi. Negara malah memberikan jaminan supaya KK dan PKB2B berlanjut. Tanpa evaluasi. Padahal dievaluasi tersebut harusnya ada ruang, dimana masyarakat bisa memberikan aspirasi dan kerugian yang dialami,” jelasnya.
Dengan adanya pemberian jaminan, apapun komplain atau dampak malah tidak jadi pertimbangan. Dan kegiatan pertambangan ini tetap dilakukan. “Ini empat cakupan besar dari permohonan judicial review UU Minerba,” bebernya.
Oligarki Kuasai Kebijakan Negara
Sementara, Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, UU Minerba malah jadi gambaran oligarki yang telah menguasai kebijakan negara. Pengesahan di tengah rakyat dicekik krisis dan pandemi, batas antara penguasa dan pengusaha dalam proses lahirnya perundang-undangan semakin kabur yang justru terlihat menyatu oleh kepentingan bisnis.
“Negara memberi akses untuk pengusaha-pengusaha besar mengeruk rumah dan tanahnya, sumber penghidupannya untuk kepentingan korporasi di bidang tambang. Masyarakat cuma bisa melongo. Kok bisa negara memfasilitasi seperti itu. Padahal UUD menjamin sumber daya alam harus dikelola berwawasan lingkungan hidup, berkeadilan. Bukan kepentingan kekuasaan,” ungkapnya.
Dirinya mempertanyakan perbedaannya dengan di masa penjajahan. Dimana penjajah mengeruk sumber daya alam. Kita orang terjajah cuma bisa melongo. “Kami berharap MK berani memutus untuk mengabulkan permohonan rakyat sebagaimana putusan-putusan sebelumnya terkait sumber daya alam,” kata Isnur.
Ia mengatakan, pihaknya dalam hal ini menunjukkan pada masyarakat bahwasanya mereka berjuang. Bagaimana pun hasilnya, yang terpenting secara legal dan formal telah dilakukan dengan baik.
“Eksekutif sudah selesai. Bisa dilihat presiden memberikan karpet merah untuk oligarki seluas-luasnya. Kedua, DPR yang membuat undang-undang juga sudah dikuasai,” tegasnya.
Benteng terakhir, lanjutnya, adalah yudikatif. Jika setelah pengajuan ini ternyata masih sama, masyarakat bisa memberikan penilaian terhadap tiga pilar negara atau kekuasaan ini.
“Sebenarnya kami hanya bisa menegur, karena prinsip konstitusi mereka sudah paham. Bahkan banyak putusan MK yang sudah klir, harusnya mereka membatalkan UU Minerba ini,” ujarnya.
Menurutnya, permohonan ini benar-benar disiapkan dengan matang. Melalui pertimbangan ahli dan semua sisi telah diperhatikan. “Tapi tidak tahu MK nanti seperti apa. Ini tergantung nurani,” katanya. [wip]