(IslamToday ID) – Indonesia sedang menuju jalur jebakan pandemi (pandemic trap) yang semakin dalam karena belum memiliki penanganan terencana dan target yang jelas.
Hal itu diungkapkan oleh pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono melalui cuitan di akun Twitternya @drpriono1. Dalam cuitan itu, ia menyebut (mention) akun Twitter Presiden Jokowi.
“Pak @jokowi Indonesia sedang menuju jalur Jebakan Pandemi (Pandemic Trap) yg semakin dalam dan semakin sulit bisa keluar dengan lebih cepat. Respons kendali tak bisa dg tambal-sulam spt sekarang. Pilihannya hanya satu, kendalikan pandemi dg 3M, Tes-Lacak-Isolasi dan Vaksinasi,” tulis Pandu seperti dilihat Sabtu (31/7/2021).
Dikonfirmasi, Pandu menjelaskan lebih lanjut alasan menyebut Indonesia sedang menuju jebakan pandemi itu. Menurutnya, saat ini Indonesia belum berhasil mengendalikan pandemi.
“Karena kan sampai sekarang kita belum berhasil mengendalikan pandemi, nggak beres-beres. Nggak ada tanda-tanda bahwa kita akan berhasil pakai cara apapun. Artinya kita bisa lama sekali baru bisa menyelesaikan pandemi. Jadi Pak Jokowi sudah berakhir masa jabatannya mungkin juga belum selesai,” katanya seperti dikutip dari DetikCom.
Indonesia, kata Pandu, belum memiliki target dalam menangani pandemi. Ia menyebut cara Indonesia dalam menangani pandemi menggunakan sistem tambal sulam.
“Karena masalahnya adalah kita nggak punya target. Kita mau mengakhiri pandemi itu kapan? Semuanya itu intervensinya tambal sulam. Ada kasus naik baru kita bikin PPKM darurat, padahal sudah bisa diprediksi bahwa kalau kita tidak melakukan pengetatan sejak awal, maka akan terjadi peningkatan yang luar biasa,” jelasnya.
Pandu mengungkit bahwa Indonesia sempat diingatkan soal varian baru corona yang sudah membuat negara lain waspada. Namun nyatanya yang ditakutkan benar terjadi di Indonesia.
“Sudah diingatkan oleh WHO, semuanya ngasih tahu ‘ini Indonesia ada ancaman bahaya’. Pada waktu kejadian di India sudah diingatkan jangan sampai di Indonesia seperti di India. Ya kan lama-lama kita itu seperti berkubang di dalam pandemi, lubang pandemi yang luar biasa,” katanya.
Menurutnya, Indonesia semakin dalam masuk ke lubang pandemi. Terlebih penularannya bukan hanya di Jawa, tapi sudah meluas ke seluruh pulau di Indonesia.
Waspadai Varian Delta
Penyebaran virus corona varian Delta, kata Pandu, telah ditemukan di seluruh Indonesia. Ia menilai akan terjadi ledakan kasus corona varian Delta ini.
“Kalau kita lihat sebaran Delta dari hasil surveilans genome itu sudah sampai Papua, di setiap daerah sudah ada kasus yang dilaporkan hasil genome sequencing, tinggal nunggu ledakan saja. Satu per satu akan terjadi ledakan, seperti kita beberapa bulan yang lalu, tidak mengantisipasi ketika kita menemukan di Jawa dan di beberapa wilayah di Indonesia,” paparnya.
Menurut Pandu, istilah pandemic trap memang ada dalam ilmu epidemiologi. Ia mengungkapkan mengatasi wabah harus dilakukan secara terencana dan terstruktur.
“Seperti kita terperangkap dalam situasi yang kita tidak tahu. Saya tidak tahu yang kita sebut analogi yang tepat itu apa, tapi dalam istilah epidemiologi itu ada tentang wabah trap yang kita tidak bisa mengatasinya karena kita tidak mengatasinya secara terencana, terstruktur,” ungkap Pandu.
Lebih lanjut, Pandu kemudian mencontohkan penanganan pandemi corona yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden. Ia menyebut AS memiliki rencana yang sistematis dalam merespons pandemi.
“Amerika saja punya national response plan, ketika Presiden Joe Biden, sehingga ketika dia masuk dia implementasi. Yang tadinya berantakan banget di masa Trump sekarang sudah mulai keluar dari jebakan itu, walaupun ancaman jebakan tetap ada, tapi dia sudah tahu cara-caranya gimana,” jelasnya.
Oleh sebab itu, Indonesia dinilai harus memiliki rencana dan target dalam mengatasi pandemi. Ia mengkritik panitia yang dibentuk pemerintah dalam merespons lonjakan kasus.
“Kita harus mengantisipasi bahwa ini kalau kita tidak punya target, tidak punya agenda yang terencana, yang fokus sistematik, kita akan muter-muter di situ saja. Kita terperangkap dalam situasi yang tidak pernah kita tahu,” ucapnya.
“Makanya saya bilang bikinlah national response plan, kerjakan sebagai pemerintahan langsung, jangan diserahkan ke panitia-panitia, nggak bisa kayak Luhut (Luhut Binsar Pandjaitan), begitu ada ini Luhut ditunjuk, itu kan responsif banget, bukan antisipasi,” imbuh Pandu.
Ia mengusulkan agar penanganan pandemi ini langsung di bawah komando Presiden Jokowi. Ia menyebut setiap kementerian harus berjalan dalam bidangnya masing-masing dalam menangani pandemi.
“Langsung (di bawah Jokowi) pemerintah kan di setiap departemen harus bergerak. Kalau kita tidak bisa mengatasi pandemi, pemulihan ekonomi tidak akan bisa dilakukan dengan baik. Begitu kita mau longgarkan naik lagi kasusnya, begitu pertumbuhan ekonominya sudah mulai membaik, kalah lagi dengan kasus yang sangat tinggi. Petakan lagi, jadi nggak sustain. Kita harus sustain,” katanya.
Selain itu, Pandu mengatakan kasus corona saat ini harus diturunkan ke level yang paling rendah. Salah satu caranya adalah melakukan testing, tracing, dan treatment (3T) secara masif.
“Saran saya adalah jadi kita harus turunkan ini sekarang sampai level serendah-rendahnya, terus dipertahankan, jadi kita supresi ini, jadi kita lakukan supresi penularan, terus kita sustain dan terus kita pertahankan untuk sustain itu, supaya nanti jangan ada lonjakan gelombang ketiga. Mungkin ada lonjakan tapi lonjakannya nggak setinggi yang sekarang,” ucapnya.
Ia meminta perlu ada fokus pengendalian penularan dengan masif melakukan pengetesan, pelacakan, dan perawatan.
“Bukan bergerak di hilir, bukan menyiapkan rumah sakit, bukan menyiapkan ICU. Uang habis hanya untuk menyiapkan rumah sakit, tapi testing-nya yang menjadi prioritas tidak dilakukan, testing, lacak, isolasinya,” jelasnya.
Penerapan 3T, disebut Pandu sebagai primadona dalam penanganan pandemi corona. Ia menyebut 3T harus dilakukan secara luas serta didukung oleh protokol kesehatan 3M dan vaksinasi.
Obat untuk Pasien Isoman
Pandu juga mewanti-wanti agar pasien corona yang melakukan isolasi mandiri (isoman) tidak diberikan obat sembarangan. Ia menilai obat yang dikonsumsi harus dikonsultasikan dengan tenaga medis secara langsung.
“Tiba-tiba isoman dikasih obat, buat apa. Nggak kasih obat juga sembuh kok. Obat itu harusnya bukan di masyarakat, dimana? Di rumah sakit. Yang bisa mengendalikan, memantau obat itu tepat atau tidak kan tenaga kesehatan. Setiap orang kan beda-beda, di rumah sakit di obat ini, terus kita monitor, loh kok kadar ureumnya meningkat, wah ini nggak cocok, ini ada gangguan di ginjal. Dan berikan obat ini, obat ini, itu bisa dipantau, kalau di masyarakat nggak dipantau,” katanya.
Konsultasi pasien corona, kata Pandu, tidak cukup hanya dilakukan via telepon. Ia menilai pemberian obat harus diikuti dengan pemantauan respons dari tubuh pasien.
“Nggak boleh, walaupun konsultasi dokter, nggak boleh. Harus dipantau, itu kan telemedicine, kita nggak lihat orangnya, nggak ada hasil lab, bagaimana fungsi ginjalnya, apakah dia alergi atau tidak. Sebaiknya yang tidak bisa dirawat, dipantau jangan dikasih obat keras. Itu dikasih antivirus, antibiotik, saya saja takut minum antibiotik sembarangan,” jelasnya. [wip]