(IslamToday ID) – Program bagi-bagi laptop dan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ke sekolah-sekolah mendapat sorotan dari pengamat pendidikan Indra Charismiadji. Ia menceritakan kebijakan serupa yang dilakukan negara tetangga Malaysia namun berujung kegagalan karena strategi yang tidak tepat.
“Kalau tidak disiapkan nasibnya bisa sama seperti kegagalan program 1Bestarinet-nya Malaysia atau program pengadaan tabletnya Thailand,” kata Indra seperti dikutip dari CNN Indonesia, Senin (1/8/2021) lalu.
1Bestarinet adalah sebuah mega proyek pemerintah Malaysia dengan anggaran berkisar Rp 14 triliun untuk menyediakan konektivitas internet dan menciptakan lingkungan belajar virtual untuk 10.000 sekolah. Salah satu upaya yang dilakukan dengan membagikan chromebook dan learning management system (LSM).
Namun proyek itu, kata Indra, akhirnya dihentikan oleh pemerintah Malaysia pada tahun 2019 karena audit menunjukkan hasil program jauh dari harapan yang diwacanakan.
“Malaysia sudah jelas-jelas gagal dengan proyek chromebook-nya. Sekarang kita mau menjalankan proyek yang sama di tengah pandemi pula. Jangan sampai Indonesia kejeblos di lubang yang sama. Itu bodoh sekali namanya,” tambahnya.
Indra menjelaskan upaya mendigitalisasi sekolah tidak bisa hanya dilakukan dengan membagi-bagikan laptop dan perangkat TIK. Ia menyebut ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam upaya digitalisasi, yaitu infrastruktur, infostruktur, dan infokultur.
“Laptop ini bagian dari infrastruktur, bagaimana dengan infostruktur dan infokulturnya?” tuturnya.
Menurut Indra, persiapan program Digitalisasi Sekolah belum matang. Ia mengatakan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendibud-Ristek) belum bisa menjelaskan naskah akademik dibalik pentingnya program ini dilaksanakan.
Indra menyarankan Indonesia lebih baik mengikuti jejak Singapura yang membuat perencanaan awal pendidikan melalui ICT Masterplan in Education (Rencana Utama Digitalisasi Pendidikan). Ia mengatakan Singapura memiliki strategi digitalisasi pendidikan yang matang karena perencanaan itu.
“Singapura yang besarnya hanya seperti satu kecamatan di Indonesia, hanya 300-an sekolah, punya perencanaan digitalisasi pendidikan yang matang dan terukur dengan ICT Masterplan in Education-nya. Kita yang 17.000 pulau, 260.000 sekolah, 50 juta siswa, tidak ada perencanaan sama sekali,” imbuh Indra.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin juga mengkritisi kebijakan Mendikbudristek Nadiem Makarim yang menganggarkan Rp 17,42 triliun untuk bantuan laptop dan perangkat TIK buatan produsen lokal kepada sekolah.
Totok menjelaskan ada banyak PR yang harus diperhatikan Nadiem terkait kebijakan tersebut, mengingat dana pengadaan barang TIK cukup besar.
“Mendikbud-Ristek itu, kalau ada masalah solusinya atau kebijakannya sering tidak sesuai dengan masalah yang ada, kebijakan ini salah satu contohnya,” ucapnya, Sabtu (31/7/2021) lalu.
Ia menilai bahwa pengadaan alat TIK ke sekolah-sekolah untuk mendukung program Digitalisasi Sekolah tidak bisa efektif di seluruh daerah. Sebabnya, masalah pada sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak hanya pada ketersediaan alat teknologi, tapi juga kemampuan guru membuat bahan ajar.
Totok menjelaskan idealnya guru mampu membuat bahan ajar yang sesuai dengan kelas atau jenjang pendidikan siswa menggunakan teknologi. Namun ia menilai kualitas mayoritas guru di Indonesia baru pada level pengguna, bukan kreator bahan ajar.
“Idealnya memang kalau sudah digital, gurunya sudah piawai menggunakan teknologi dan sudah pada level memproduksi bahan ajar sendiri. Tidak hanya ambil dari internet dengan materi masih bahasa Inggris, enggak disesuaikan. Mayoritas guru kita di level bawah, hanya pengguna saja, belum sampai pada level kreator,” jelas Totok.
Dengan demikian Totok menilai pemberian laptop untuk sekolah bisa tidak produktif, dan Kemendikbud-Ristek seharusnya memprioritaskan pelatihan guru agar bisa membuat bahan ajar sendiri.
Selain itu, Totok juga menekankan bahwa tak semua daerah dapat lebih produktif belajar menggunakan alat TIK, terutama di wilayah luar Jawa-Bali yang masih kesulitan akses internet dan listrik.
“Maka dari itu, tugasnya berat. Kalau dia (Nadiem) bisa memberikan bantuan pada anak di Jawa, Bali, dan Sumatera, tidak boleh timpang dengan wilayah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, apalagi di daerah timur, NTT, Papua,” katanya.
“Bagaimana memeratakan pelayanan kepada anak didik di seluruh Indonesia. Karena itu setiap kebijakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi wilayah, tidak bisa one size for all,” sambungnya. [wip]