(IslamToday ID) – Sidang pertama pengajuan judicial review UU No 3/2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) oleh koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia segera digelar.
Judicial review itu diajukan oleh dua organisasi masyarakat sipil, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (Jatam Kaltim), serta dua warga terdampak, Nur Aini (petani dari Desa Sumberagung, Banyuwangi, Jawa Timur) dan Yaman (nelayan asal Desa Matras, Sungailiat, Bangka Belitung).
Persidangan dengan perkara No 37/PUU-XIX/2021 itu akan dilakukan pada Senin (9/8/2021) pukul 13.30 WIB, dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
“Penting untuk mengawal jalannya persidangan pengujian UU Minerba. Dengan mengawasi proses judicial review ini, maka kita sedang mendukung Mahkamah Konstitusi agar bisa menjadi tempat rakyat mencari keadilan,” kata Lasma Natalia, penasehat hukum pemohon dari LBH Bandung melalui keterangan tertulisnya seperti dikutip dari Bisnis.com, Selasa (3/8/2021).
Adapun, substansi pasal-pasal yang dipersoalkan antara lain berkaitan dengan sentralisasi kewenangan dalam penyelenggaraan penguasaan minerba, jaminan operasi industri pertambangan meski bertentangan dengan tata ruang, perpanjangan izin otomatis atas kontrak karya dan PKP2B tanpa evaluasi dan lelang, serta pasal pembungkaman hak veto rakyat yang tidak setuju terhadap keberadaan proyek pertambangan dari hulu hingga hilir di pembangkitan.
Pradarma Rupang dari Jatam Kaltim mengatakan solusi sentralisasi kewenangan hanya akan menggeser ruang korupsi dari daerah ke pusat, mendekati oligarki besar di ibukota. Celakanya aparat hukum dalam menindak kasus korupsi hanya menggunakan alat ukur kerugian yang dialami negara, tetapi tidak mempertimbangkan kerugian yang diderita rakyat di lingkar tambang.
Padahal sangat jelas di manapun kewenangan itu berada, masyarakat yang terdampak aktivitas tambang yang selalu menjadi korban dan harus mengatasi krisis tersebut.
Ia menilai pemusatan kewenangan kepada pemerintah pusat akan semakin menjauhkan jangkauan warga di lingkar tambang untuk melakukan pengaduan. Langkah ini sejatinya semakin mempersulit akses warga di lingkar tambang untuk melakukan pelaporan.
Jarak sengaja dibangun hingga pada akhirnya setiap kasus tambang nyaris tanpa adanya kepastian hukum bagi masyarakat korban tambang.
“Mengaktifkan kembali layanan izin lewat pemerintah pusat akan mengancam inisiatif daerah yang berupaya melindungi wilayahnya melalui kewenangan daerah,” kata Pradarma.
Sebelumnya, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan UU Minerba adalah gambaran utuh oligarki yang telah menguasai kebijakan negara. Pengesahan di tengah rakyat dicekik krisis dan pandemi, batas antara penguasa dan pengusaha dalam proses lahirnya perundang-undangan semakin kabur yang justru terlihat menyatu oleh kepentingan bisnis.
“UU ini sangat terlihat dibuat untuk memenuhi kepentingan tambang dan menyingkirkan hak warga negara yang dijamin konstitusi. UU ini sangat bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum, partisipasi warga, keadilan, desentralisasi, dan demokrasi ekonomi yang sudah digariskan oleh UUD 1945. Kami berharap MK berani memutus untuk mengabulkan permohonan rakyat sebagaimana putusan-putusan sebelumnya terkait sumber daya alam,” ujar Isnur, 21 Juni 2021 lalu.
Juru Bicara WALHI Dwi Sawung menuturkan, secara substansial revisi UU Minerba tidak mampu menjadi jawaban nyata untuk memulihkan lingkungan dari kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan.
“Industri pertambangan diberikan keleluasaan untuk tetap beroperasi meski di wilayah yang bertentangan dengan tata ruang. Pemegang Kontrak Karya dan PKP2B (IUPK) juga diberikan perpanjangan izin otomatis tanpa evaluasi dan lelang,” kata Sawung.
Ia menambahkan, keberadaan UU Minerba yang baru dengan kata lain hanya memiliki orientasi untuk terus melanggengkan praktik eksploitasi sumber daya alam, khususnya batubara. “Padahal, sumber energi kotor tersebut semakin ditinggalkan, sebab berdampak serius terhadap kelestarian lingkungan, krisis iklim, dan kesehatan masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Nurul Aini, petani dari Desa Sumberagung, Banyuwangi, Jawa Timur dan Yaman, nelayan asal Desa Matras, Kabupaten Sungailiat, Bangka Belitung merupakan korban intimidasi dan represi aparat keamanan saat bersama warga desanya berjuang melindungi sumber kehidupannya dari dampak kehancuran pertambangan.
“UU Minerba ini hanya melindungi tambang. Kalau UU itu dihapuskan, masyarakat aman. Perusahaan tidak bisa mengkriminalisasi warga lagi,” kata Nurul Aini. [wip]