(IslamToday ID) – Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai penurunan biaya tes PCR di kisaran Rp 450.000 hingga Rp 550.000 masih terbilang mahal.
Ia berpendapat harusnya Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin untuk menurunkan harga PCR serendah-rendahnya sampai Rp 150.000.
“Tes PCR berdasarkan e-Catalogue bisa ditekan 150 ribu rupiah. Pak @jokowi memerintahkan ke pak @BudiGSadikin @KemenkesRI harus menekan kemahalan dengan serendah-rendah dan secepat-cepatnya. Kalau dipatok 500 ribu itu masih sangat mahal,” cuit Pandu lewat akun Twitter @drpriono1.
Selain PCR, Pandu menyebut tes cepat antigen pun semestinya bisa ditekan hingga Rp 70.000. “Satu dus tes antigen berisi 25 tes. Satu dus tes PCR berisi 100 tes. Jadi kenapa bisa terjadi harga kemahalan, walaupun sudah diprotes, karena banyak yang diuntungkan dan tidak ada pengawasan yang ketat dari regulator Kemenkes RI,” tuturnya seperti dikutip dari Tempo, Senin (16/8/2021).
Senada, Sekretaris Fraksi PPP DPR RI, Achmad Baidowi juga menyebut harga tes PCR semestinya masih bisa ditekan. Menurutnya, meskipun Jokowi telah meminta harga diturunkan 50 persen, tapi masih tinggi dibandingkan negara-negara lain.
“Instruksi tersebut patut kami apresiasi. Namun meskipun harganya turun 50 persen, ini masih tinggi dibandingkan negara-negara lain,” kata Baidowi.
Ia mencontohkan di Uzbekistan misalnya, harga PCR sekitar Rp 350.000. “Itu pun yang (hasilnya keluar) 6 jam. Kalau yang 24 jam lebih murah,” tambahnya lewat keterangan tertulis, Ahad (15/8/2021).
Peneliti ICW Wana Alamsyah juga membandingkan harga tes PCR Indonesia dengan India. Pemerintah India memangkas tarif PCR dari 800 Rupee menjadi 500 Rupee atau sekitar Rp 96.000.
Sementara di Indonesia, Kemenkes melalui Surat Edaran (SE) No HK.02.02/I/3713/2020 sebelumnya menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp 900.000 atau sekitar 10 kali lipat dari tarif di India.
Hasil penelusuran ICW menemukan bahwa rentang harga reagen PCR yang selama ini dibeli oleh pelaku usaha senilai Rp 180.000 hingga Rp 375.000. Jika harga batas atas PCR yang ditetapkan Kemenkes dibandingkan dengan harga beli pelaku usaha, maka gap harga reagen PCR mencapai lima kali lipat.
Wana mengkritik Kemenkes yang selama ini tidak pernah menyampaikan mengenai besaran komponen persentase keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang bergerak pada industri pemeriksaan PCR. “Kebijakan yang dibuat tanpa adanya keterbukaan berakibat pada kemahalan harga penetapan pemeriksaan PCR dan pada akhirnya hanya akan menguntungkan sejumlah pihak saja,” ujar Wana. [wip]